[Perjalanan Menuju FKUI] Ibreyna Genoveva Tumanggor

Nama saya Ibreyna Genoveva Tumanggor, panggil saya Bena. Saya lahir di Jakarta, tanggal 27 Juli 1997, tepatnya di RS Bunda, Menteng. Saya anak ke-4 dari 4 bersaudara, saya anak perempuan satu-satunya di keluarga. Saya tinggal di sebuah rumah yang nyaman bersama keluarga saya di Depok. Di lembaran ini, saya akan menumpahkan pengalaman saya secara jujur sebelum menjadi mahasiswi. Keluarga saya beranggotakan 6 orang. Ayah saya seorang pegawai swasta, Ibu saya seorang staf pengajar, abang pertama saya seorang mahasiswa FTI ITB, abang kedua saya seorang mahasiswa FH Universitas Pancasila, dan abang ketiga saya seorang mahasiswa Teknik Industri UI. Tertanggal 12 November 2014, saya menetapkan impian saya untuk menjadi dokter. Tidak hanya sekedar dokter biasa, namun dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sebelumnya, ketika saya baru menginjak kelas 12 di SMA Kolese Gonzaga, yang bertempat di Jl. Pejaten Barat 10A, Jakarta Selatan, saya belum yakin, belum berani menjadi seorang yang mau mengabdikan diri sepenuhnya, setulus hati kepada bangsa dan negara. Saat saya memulai bimbel di Inten Fatmawati, saya diberi sebuah pertanyaan apa tujuan saya ‘bersekolah’ di Inten itu oleh para guru, dengan yakin saya menjawab bahwa saya ingin menjadi jati diri saya sendiri, tapi hingga saat itu saya belum tau saya mau yang seperti apa. Awalnya, saya pesimis untuk masuk ke kedokteran UI, seperti biasa. Banyak yang bilang, termasuk guru-guru Inten dan SMA Gonzaga, sekolah di kedokteran UI itu sangat sulit; masuk bahkan bertahan disana. Saya percaya dengan mereka yang bilang begitu. Namun, anehnya, keluarga saya, terlebih ibu saya menyemangati saya dengan penuh kasih sayang bahwa saya bisa, saya mampu masuk FKUI bahkan bertahan sampai menyelesaikan jenjang sekolah disana. Ya, saya rasa saya mampu.

Perjuangan untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sangatlah sulit. Saya lulus dari SMA Kolese Gonzaga tahun 2015 dan sudah ditolak satu kali oleh UI, yaitu melalui jalur SNMPTN. Saya mulai mendaftar SBMPTN dan SIMAK UI dengan 1 pilihan saja yaitu FKUI. Namun, hasilnya kembali gagal. Kata ‘maaf’ tertulis di pengumuman. Akhirnya, saya ikut bimbel BTA45 dan Inten Fatmawati selama setahun. Belajar, berjuang, dan bertekad untuk kembali mencoba di tahun 2016. Ada pepatah yang menjadi motto hidup saya, “Be like a soldier, know when to fight and when to surrender”, dan saya merasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk berhenti memaksakan diri dan ikut perang kembali di tahun selanjutnya. Masa pendaftaran SBMPTN dan SIMAK UI kembali dibuka, saya langsung mengisi FKUI dan Teknik Industri UI karena selama gap year, saya baru menyadari bahwa ternyata saya suka Fisika. Selama itu saya ikuti ujian UGM Intake 1, namun gagal. Kembali saya beraksi di ujian SBMPTN dan SIMAK UI yang mana ujian SIMAK ternyata bertempat yang sama seperti tahun sebelumnya.

Selama menunggu hasil ujian, saya mengikuti ujian IUP UGM Intake 2 dengan prodi yang sama. Setelah saya baca lagi, ternyata pengumumannya diadakan setelah pengumuman SBMPTN dan SIMAK UI. Singkat saja, beberapa hari setelah ujian IUP UGM tersebut, pengumuman SBMPTN diadakan. Saya gagal lagi, sebuah kata maaf diberikan kepadaku oleh panitia ujian. Saya tidak kecewa, karena saya merasa saya yakin saya akan kuliah di tahun 2016, entah mengapa. Akhirnya, pengumuman SIMAK UI pun keluar. Saya membuka pengumuman SIMAK UI Kelas Reguler dan Paralel. Seperti tradisi keluarga saya yang sudah saya jelaskan, membuka pengumuman perguruan tinggi negri pasti bersama-sama ayah, ibu, dan ketiga abang saya. Ketika saya ketik nomor ujian saya di website tersebut, saya sangat deg-degan. Kami sekeluarga berdoa sebelum tombol enter dipencet. Terbuka sudah pengumuman hasil SIMAK UI Kelas Reguler dan Paralel atas nama Ibreyna Genoveva Tumanggor. Ya Tuhan, saya diterima menjadi mahasiswi baru angkatan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya teriak, menangis, memeluk seluruh anggota keluarga saya. Bahagia, terus terucap kata syukur tanpa henti, saya bangga pada diri saya, ternyata saya bisa. Mengetahui hal terajaib dalam hidup saya, membaca pengemuman tersebut, dengan NPM 1606900436 yang langsung saya ingat selama semalaman. Malam itu ditutup dengan doa yang penuh syukur yang dipimpin oleh ayah saya. Esoknya, seluruh keluarga saya mulai mendengar kabar tersebut, satu per satu menelfon saya untuk mengucapkan selamat, termasuk kakek dan nenek saya. Sampai sekarang, inilah keajaiban terbesar yang pernah saya alami dalam hidup saya.

Tips saya, jangan terlalu ambisius, lakukan segala hal dengan rendah hati dan mau berbagi. Berpikir kritislah, bahwa dengan merendah kamu bisa meroket. Bukan karena sering belajar, rajin belajar, nilai try out sangat tinggi yang menjadikanmu lulus tes masuk FKUI, tapi tekad dan percaya keajaiban Tuhanlah inti dari ini semua. Tidak ada kata ‘tidak mungkin’ dalam hidup ini, yang ada hanya ‘tidak mau’. Usaha terdasar yang selalu saya lakukan hanyalah satu: fokus. Saya tidak mau tertulis kata ‘maaf’ lagi tahun 2016. Itulah buah kehidupan serta saran yang saya dapat dan saya tahu selama berjuang untuk menjadi mahasiswi FKUI. Dengan harapan keluarga saya mau mengingatkan saya bila ada salah karena saya bersekolah di tempat sebergengsi ini, dan adik-adik sepupu saya bisa bermimpi lebih tinggi lagi dari saya. Juga harapan saya kepada FKUI agar bisa menjadi wadah kreatif mahasiswa-mahasiswi, tidak hanya meningkatkan mutu dan kualitas otak saja, melainkan jiwa dan raga seperti olah raga dan seni. Untuk pribadi, harapan saya bersekolah disini adalah saya bisa mengubah diri saya menjadi pribadi yang sejati, yang bertutur kata dan bertingkah laku lemah lembut, berhati nurani, compassion, serta jujur. Pribadi yang berguna untuk bangsa dan negara, Tuhan, dan almamater.

Komentar

  1. "merendah untuk meroket" kalimat yang singkat tetapi mempunyai esensi tersendiri,menunda setahun bukan berarti gagal tetapi hanya belum saatnya,tetap semangat benaaa!

    BalasHapus
  2. "merendah untuk meroket" kalimat yang singkat tetapi mempunyai esensi tersendiri,menunda setahun bukan berarti gagal tetapi hanya belum saatnya,tetap semangat benaaa!

    BalasHapus
  3. Benaaaa keren banget sih berani gap year :(( semoga kisahmu bisa menginspirasi banyak orang untuk tidak takut gagaal

    BalasHapus
  4. keren bena semangatnya menunggu setahun!!

    BalasHapus
  5. ENDANG FARIHATUL IZZA15 Agustus 2016 pukul 21.40

    Jangan terlalu ambisiuss,seppplahh :((

    BalasHapus

Posting Komentar