Halo teman-teman, perkenalkan nama saya Rifqi Rizkani Eri, biasa dipanggil Eky oleh teman-
teman di lingkungan saya. Saya berasal dari SMAN 28 Jakarta, yang pada awalnya bukan
merupakan sekolah tujuan saya selepas SMP, namun berakhir manis pada akhir kisah SMA
saya hingga mendapat kesempatan untuk bisa menulis tulisan ini. Pada kesempatan kali ini,
saya akan membagi cerita tentang perjalanan saya menjadi mahasiswa FKUI.
Cita-cita untuk menjadi dokter tidak datang sejak kecil bagi saya. Hari pertama masuk SMA,
saya diminta untuk menulis universitas beserta fakultas tujuan saya selepas bangku sekolah.
Singkat cerita, dalam benak saya saat itu, kegiatan bekerja akan menjadi menyenangkan jika hal
tersebut sejalan dengan passion saya, atau dengan satu cara lain, yaitu dengan membantu
orang. Saya sangat ingin menjadi atlet basket atau musisi, yang merupakan passion saya sejak
kecil, namun saya juga ingin membantu orang banyak dalam lingkup yang professional, yang
memunculkan ide untuk menjadi dokter.
Sejak itu, muncul pemikiran di benak saya bahwa, jika saya fokuskan masa muda saya dalam
bidang basket dan musik, saya tidak akan bisa menjadi dokter. Namun jika saya fokuskan masa
muda saya untuk menjadi dokter, kesempatan untuk tetap menjadi atlet dan musisi tetap
terbuka. Namun, hal ini tidak berarti niat saya untuk menjadi dokter tidak sungguh-sungguh.
Saya sangat mengerti bahwa tidak mudah untuk melalui masa-masa perjuangan di fakultas
kedokteran, dan saya mengerti bahwa ada banyak hal yang harus dikorbankan untuk meraih
gelar dokter. Tetapi, ada ribuan dokter di Indonesia, dan mereka telah membuktikan bahwa gelar
dokter itu bisa diraih. Lantas, apa alasan saya untuk tidak bisa seperti mereka?
Dari sekian banyak murid SMA yang berminat masuk Fakultas Kedokteran di Universitas
Indonesia, saya termasuk orang yang beruntung, karena saya masuk lewat jalur SNMPTN. Hal
ini jelas tidak didapat dengan mudah, namun sejujurnya juga tidak didapat dengan susah susah
amat menurut saya, dibanding dengan teman-teman saya yang masuk lewat jalur tulis.
Pelatih basket saya semasa SMA, Natalius Delta, pernah berkata: “Jika lawanmu push up 10
set, maka kau harus push up 11 set. Jika lawanmu berlari 12 kilometer, maka kau harus berlari
13 kilometer.”. Dari kalimat tersebut, hanya satu hal yang saya tangkap, yaitu saya harus
melakukan lebih dari lawan saya untuk bisa meraih apa yang saya inginkan. Dan pada akhirnya,
yang harus saya kalahkan adalah diri saya sendiri.
Umumnya, saya tidak meluangkan banyak waktu untuk hal lain selain mendengarkan guru saya,
supaya saya dapat menjadi lebih baik dari saingan saya tentunya. Namun ada alasan lain, yaitu
supaya saya punya banyak waktu luang selepas pulang sekolah untuk latihan basket, agar saya
bisa menjadi lebih baik juga dari lawan-lawan saya. Mindset itu merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan saya, bahkan hingga sekarang.
Apa yang saya raih di masa SMA sama sekali bukan karena hebatnya saya. Semua orang bisa
meraihnya, hanya saja dengan mindset yang benar. Dan, tidak semua orang berkesempatan
untuk dilatih oleh salah satu pelatih basket ter-keras di masa mudanya, hahahaha. Untuk itu
saya hanya ingin menyampaikan bahwa, masa muda hanya datang sekali, dan kita semua
hanya punya dua pilihan, menjadi murid keren dengan mengikuti gaya hidup yang dianggap
gaul di kalangan anak SMA, atau menjadi murid keren dengan cara lain, yaitu berprestasi.
Percaya atau tidak, saat pengumuman SNMPTN keluar, saya sedang mengerjakan try out
SBMPTN di bimbel yang saya ikuti, sambil berusaha menghiraukan teriakan murid lain yang
telah membuka pengumuman tersebut dan merayakannya. Saat itu, try out dibagi menjadi 2
sesi, dan saya sedang mengerjakan try out sesi pertama.
Setelah selesai mengerjakan try out tersebut, saya keluar kelas dan sholat zuhur. Setelah itu,
saya berniat menelfon orang tua saya untuk bertanya tentang pengumuman SNMPTN, karena
saya tidak ingin membukanya sendiri –sebenarnya sih takut-. Tetapi, ternyata handphone saya
mati dikarenakan batrenya yang habis, sehingga saya terpaksa meminjam handphone teman
saya.
Sesaat sebelum meminjam, saya bisa melihat wajah teman saya yang sedang bermurung durja
karena tidak diterima di jalur SNMPTN. Dan setelah saya tanya, ternyata benar. Saya tak tahu
harus bersikap seperti apa karena jujur saya sangat sedih –saya cukup pandai dalam hal
berempati-. Singkat cerita, saya telfon orang tua saya dan ia menjawab sambil menangis, “Eky
keterima…”. Yang saya lakukan bukan berteriak, bukan berlompat lompat karena merasa terlalu
senang, tapi saya terdiam. Saya terdiam sembari bersyukur, namun tidak ingin membuat teman
saya merasa lebih sedih lagi.
Tetapi, setelah saya beritahu teman saya bahwa saya diterima di FKUI, teman saya justru
tertawa sembari memasang muka gembira, dan tak henti-hentinya memberi ucapan selamat
kepada saya. Jujur saya sangat, sangat terkejut, karena saya pikir ia akan menangis karena
semakin sedih lagi –hahaha-. Namun, hal ini mengajarkan saya satu hal, bahwa yang saya alami
tadi adalah sebuah pertemanan yang nyata, pertemanan yang sebenarnya. Saya mengerti benar
apa makna dari berjuang bersama, dan modal tersebut akan saya gunakan di FKUI untuk
kedepannya. Terima kasih untuk teman seperjuangan saya, Nabil Tegar, mahasiswa Fasilkom
2016.
Diterima di FKUI bukan berarti akhir dari perjuangan, bukan berarti sebuah prestasai yang bisa
membuat saya membusungkan data, bukan berarti hal yang membuat saya menjadi orang
terhebat di dunia. Diterima di FKUI berarti bahwa saya harus menjadi pribadi yang jauh lebih dari
sebelumnya, menghargai kerja sama tim, rasa kekeluargaan, belajar untuk mengesampingkan
ego, dan belajar untuk mengatur waktu lebih baik lagi, karena pada dasarnya, saya akan
berjuang bersama-sama dengan ratusan teman sefakultas saya yang lain.
Dari semua senior yang saya minta tipsnya, intinya satu pesan mereka, bahwa saya tidak akan
bisa melalui masa-masa di fakultas kedokteran dengan berjalan sendiri. Saya akan
membutuhkan teman-teman yang lain untuk berjuang bersama, dan mereka juga akan
membutuhkan saya untuk membantu mereka. Peduli adalah komponen yang sangat penting
dalam perjuangan ini, karena kami adalah satu keluarga, dan kami akan peduli. Saya akan
peduli terhadap mereka.
Namun, keluarga yang sejati akan tetap muncul sebagai hal nomor satu dalam benak saya.
Untuk adik saya, Dinda, saya harap bahwa saya bisa menginspirasinya untuk menjadi insan
yang bermimpi, berusaha, dan berbakti kepada Allah, rakyat besar, dan orang tua. Dan untuk
Ayah dan Ibu saya, saya hanya bisa berterima kasih atas semua hal yang telah ia berikan.
Sejujurnya, saya termasuk anak yang beruntung karena orang tua saya sangat mendukung saya
dalam bidang apapun, baik akademis, basket, maupun musik. Dan saya harap dengan
masuknya saya ke FKUI bisa membuat mereka bangga, setidaknya. Dan yang terpenting
adalah, bahwa saya masih sangat, sangat membutuhkan peran mereka dalam hidup saya, dan
semoga kesibukan di FK tetap memberi waktu untuk tetap dekat dengan mereka.
Ada beberapa quote yang menjadi pedoman saya dalam hidup. Selain “Chasing Perfection”
yang selalu saya tanamkan karena saya mengidolakan pemain basket amerika, Kobe Bryant,
ada juga quote dari Pelatih basket saya tadi, yang telah saya cantumkan di atas. Namun, saya
pikir ada satu kalimat yang sangat bermakna, mengingat saya sangat memperjuangkan mimpi
saya di 3 bidang berbeda, kedokteran, musik, dan basket.
DO WHAT YOU LOVE, LOVE WHAT YOU DO
Sekian tulisan ini saya buat, terima kasih yang sebesar besarnya jika kalian sudah meluangkan
waktunya untuk membaca tulisan di atas, dan semoga dapat menginspirasi. Karena
sesungguhnya, siapapun bisa menjadi siapapun.
Rifqi Rizkani Eri
teman di lingkungan saya. Saya berasal dari SMAN 28 Jakarta, yang pada awalnya bukan
merupakan sekolah tujuan saya selepas SMP, namun berakhir manis pada akhir kisah SMA
saya hingga mendapat kesempatan untuk bisa menulis tulisan ini. Pada kesempatan kali ini,
saya akan membagi cerita tentang perjalanan saya menjadi mahasiswa FKUI.
Cita-cita untuk menjadi dokter tidak datang sejak kecil bagi saya. Hari pertama masuk SMA,
saya diminta untuk menulis universitas beserta fakultas tujuan saya selepas bangku sekolah.
Singkat cerita, dalam benak saya saat itu, kegiatan bekerja akan menjadi menyenangkan jika hal
tersebut sejalan dengan passion saya, atau dengan satu cara lain, yaitu dengan membantu
orang. Saya sangat ingin menjadi atlet basket atau musisi, yang merupakan passion saya sejak
kecil, namun saya juga ingin membantu orang banyak dalam lingkup yang professional, yang
memunculkan ide untuk menjadi dokter.
Sejak itu, muncul pemikiran di benak saya bahwa, jika saya fokuskan masa muda saya dalam
bidang basket dan musik, saya tidak akan bisa menjadi dokter. Namun jika saya fokuskan masa
muda saya untuk menjadi dokter, kesempatan untuk tetap menjadi atlet dan musisi tetap
terbuka. Namun, hal ini tidak berarti niat saya untuk menjadi dokter tidak sungguh-sungguh.
Saya sangat mengerti bahwa tidak mudah untuk melalui masa-masa perjuangan di fakultas
kedokteran, dan saya mengerti bahwa ada banyak hal yang harus dikorbankan untuk meraih
gelar dokter. Tetapi, ada ribuan dokter di Indonesia, dan mereka telah membuktikan bahwa gelar
dokter itu bisa diraih. Lantas, apa alasan saya untuk tidak bisa seperti mereka?
Dari sekian banyak murid SMA yang berminat masuk Fakultas Kedokteran di Universitas
Indonesia, saya termasuk orang yang beruntung, karena saya masuk lewat jalur SNMPTN. Hal
ini jelas tidak didapat dengan mudah, namun sejujurnya juga tidak didapat dengan susah susah
amat menurut saya, dibanding dengan teman-teman saya yang masuk lewat jalur tulis.
Pelatih basket saya semasa SMA, Natalius Delta, pernah berkata: “Jika lawanmu push up 10
set, maka kau harus push up 11 set. Jika lawanmu berlari 12 kilometer, maka kau harus berlari
13 kilometer.”. Dari kalimat tersebut, hanya satu hal yang saya tangkap, yaitu saya harus
melakukan lebih dari lawan saya untuk bisa meraih apa yang saya inginkan. Dan pada akhirnya,
yang harus saya kalahkan adalah diri saya sendiri.
Umumnya, saya tidak meluangkan banyak waktu untuk hal lain selain mendengarkan guru saya,
supaya saya dapat menjadi lebih baik dari saingan saya tentunya. Namun ada alasan lain, yaitu
supaya saya punya banyak waktu luang selepas pulang sekolah untuk latihan basket, agar saya
bisa menjadi lebih baik juga dari lawan-lawan saya. Mindset itu merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan saya, bahkan hingga sekarang.
Apa yang saya raih di masa SMA sama sekali bukan karena hebatnya saya. Semua orang bisa
meraihnya, hanya saja dengan mindset yang benar. Dan, tidak semua orang berkesempatan
untuk dilatih oleh salah satu pelatih basket ter-keras di masa mudanya, hahahaha. Untuk itu
saya hanya ingin menyampaikan bahwa, masa muda hanya datang sekali, dan kita semua
hanya punya dua pilihan, menjadi murid keren dengan mengikuti gaya hidup yang dianggap
gaul di kalangan anak SMA, atau menjadi murid keren dengan cara lain, yaitu berprestasi.
Percaya atau tidak, saat pengumuman SNMPTN keluar, saya sedang mengerjakan try out
SBMPTN di bimbel yang saya ikuti, sambil berusaha menghiraukan teriakan murid lain yang
telah membuka pengumuman tersebut dan merayakannya. Saat itu, try out dibagi menjadi 2
sesi, dan saya sedang mengerjakan try out sesi pertama.
Setelah selesai mengerjakan try out tersebut, saya keluar kelas dan sholat zuhur. Setelah itu,
saya berniat menelfon orang tua saya untuk bertanya tentang pengumuman SNMPTN, karena
saya tidak ingin membukanya sendiri –sebenarnya sih takut-. Tetapi, ternyata handphone saya
mati dikarenakan batrenya yang habis, sehingga saya terpaksa meminjam handphone teman
saya.
Sesaat sebelum meminjam, saya bisa melihat wajah teman saya yang sedang bermurung durja
karena tidak diterima di jalur SNMPTN. Dan setelah saya tanya, ternyata benar. Saya tak tahu
harus bersikap seperti apa karena jujur saya sangat sedih –saya cukup pandai dalam hal
berempati-. Singkat cerita, saya telfon orang tua saya dan ia menjawab sambil menangis, “Eky
keterima…”. Yang saya lakukan bukan berteriak, bukan berlompat lompat karena merasa terlalu
senang, tapi saya terdiam. Saya terdiam sembari bersyukur, namun tidak ingin membuat teman
saya merasa lebih sedih lagi.
Tetapi, setelah saya beritahu teman saya bahwa saya diterima di FKUI, teman saya justru
tertawa sembari memasang muka gembira, dan tak henti-hentinya memberi ucapan selamat
kepada saya. Jujur saya sangat, sangat terkejut, karena saya pikir ia akan menangis karena
semakin sedih lagi –hahaha-. Namun, hal ini mengajarkan saya satu hal, bahwa yang saya alami
tadi adalah sebuah pertemanan yang nyata, pertemanan yang sebenarnya. Saya mengerti benar
apa makna dari berjuang bersama, dan modal tersebut akan saya gunakan di FKUI untuk
kedepannya. Terima kasih untuk teman seperjuangan saya, Nabil Tegar, mahasiswa Fasilkom
2016.
Diterima di FKUI bukan berarti akhir dari perjuangan, bukan berarti sebuah prestasai yang bisa
membuat saya membusungkan data, bukan berarti hal yang membuat saya menjadi orang
terhebat di dunia. Diterima di FKUI berarti bahwa saya harus menjadi pribadi yang jauh lebih dari
sebelumnya, menghargai kerja sama tim, rasa kekeluargaan, belajar untuk mengesampingkan
ego, dan belajar untuk mengatur waktu lebih baik lagi, karena pada dasarnya, saya akan
berjuang bersama-sama dengan ratusan teman sefakultas saya yang lain.
Dari semua senior yang saya minta tipsnya, intinya satu pesan mereka, bahwa saya tidak akan
bisa melalui masa-masa di fakultas kedokteran dengan berjalan sendiri. Saya akan
membutuhkan teman-teman yang lain untuk berjuang bersama, dan mereka juga akan
membutuhkan saya untuk membantu mereka. Peduli adalah komponen yang sangat penting
dalam perjuangan ini, karena kami adalah satu keluarga, dan kami akan peduli. Saya akan
peduli terhadap mereka.
Namun, keluarga yang sejati akan tetap muncul sebagai hal nomor satu dalam benak saya.
Untuk adik saya, Dinda, saya harap bahwa saya bisa menginspirasinya untuk menjadi insan
yang bermimpi, berusaha, dan berbakti kepada Allah, rakyat besar, dan orang tua. Dan untuk
Ayah dan Ibu saya, saya hanya bisa berterima kasih atas semua hal yang telah ia berikan.
Sejujurnya, saya termasuk anak yang beruntung karena orang tua saya sangat mendukung saya
dalam bidang apapun, baik akademis, basket, maupun musik. Dan saya harap dengan
masuknya saya ke FKUI bisa membuat mereka bangga, setidaknya. Dan yang terpenting
adalah, bahwa saya masih sangat, sangat membutuhkan peran mereka dalam hidup saya, dan
semoga kesibukan di FK tetap memberi waktu untuk tetap dekat dengan mereka.
Ada beberapa quote yang menjadi pedoman saya dalam hidup. Selain “Chasing Perfection”
yang selalu saya tanamkan karena saya mengidolakan pemain basket amerika, Kobe Bryant,
ada juga quote dari Pelatih basket saya tadi, yang telah saya cantumkan di atas. Namun, saya
pikir ada satu kalimat yang sangat bermakna, mengingat saya sangat memperjuangkan mimpi
saya di 3 bidang berbeda, kedokteran, musik, dan basket.
DO WHAT YOU LOVE, LOVE WHAT YOU DO
Sekian tulisan ini saya buat, terima kasih yang sebesar besarnya jika kalian sudah meluangkan
waktunya untuk membaca tulisan di atas, dan semoga dapat menginspirasi. Karena
sesungguhnya, siapapun bisa menjadi siapapun.
Rifqi Rizkani Eri
Wah enak ya masuk lewat undangan. Semoga kamu jadi dokter yang hebat ya Ky.
BalasHapusSelamat ekky!! Sukses terus!
BalasHapusSemangattt ky! Teruskan perjuangan yang masih panjang ini! Good Luck
BalasHapussemoga cita-citamu jadi kenyataan tiga-tiganya hehe
BalasHapussemangat ky dalam segala hal!!!
BalasHapusSelamaaat yaa
BalasHapusCongrats ekyy sukses terus ya
BalasHapus