[Perjalanan Menuju FKUI] Adriana Viola Miranda



Saya Adriana Viola Miranda, insyaallah calon dokter peneliti. Alhamdulillah, saya diberi jalan untuk mencapai cita-cita tersebut dengan menjadi mahasiswa FKUI 2016. Saya merupakan satu dari 72 orang yang diterima di FKUI lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), ujian yang seringkali dikatakan sulit. Pertanyaannya, apa benar masuk FKUI melalui SBMPTN adalah hal yang sulit? Tulisan ini adalah mengenai pandangan saya perihal hal tersebut; dilihat dari perjuangan saya untuk mencapainya.


Banyak orang mulai bermimpi untuk menjadi mahasiswa FKUI sejak lama. Saya bukan termasuk salah satunya; bahkan, dokter sebelumnya lama tidak menjadi cita-cita saya. Hal ini sering membuat saya minder karena bagi saya, apabila seseorang bermimpi sejak lama berarti ia telah memiliki tekad besar. Bukankah tekad adalah awal dari usaha?


Saat saya SD dulu, saya adalah anak yang menjawab mantap pertanyaan, “Mau jadi apa?” dengan jawaban “Dokter spesialis jantung!”. Keluarga saya kebetulan banyak yang dokter, jadi saya rasa dari sanalah cita-cita saya berasal. Lucunya, cita-cita itu hilang justru setelah saya mendalami bidang yang berkaitan erat dengan kedokteran, biologi. Alhamdulillah, saya terpilih untuk mewakili SMP saya dalam olimpiade biologi sehingga dikirim ke berbagai pelatihan dan perlombaan. Saat itu, saya senang belajar biologi, tapi saya berpikir saya tidak dapat menjadikan hapalan sebagai jalan hidup saya. Olimpiade biologi SMP begitu menekankan pada hapalan sehingga saya sempat merasa tertekan. Saya sendiri menyukai pelajaran berhitung, jadi cita-cita saya kemudian adalah menjadi insinyur telekomunikasi seperti ayah saya.


Cita-cita ini lantas mempengaruhi pilihan SMA saya; saya ingin berada di tempat yang membuat kemungkinan saya diterima lewat jalur SNMPTN Undangan di STEI ITB, sekolah dengan jurusan teknik telekomunikasi terbaik se-Indonesia, besar. Setelah saya gagal lolos tes di MAN terbaik negeri ini, saya akhirnya menjatuhkan pilihan saya pada SMAN 3 Bandung. Alhamdulillah, SMA ini kemudian menjadi almamater saya. Saya pun memastikan nilai saya baik selama pembelajaran agar menjadi salah satu penerima SNMPTN Undangan. Alhamdulillah, ranking saya di kelas baik.


Di SMA, saya tidak begitu menargetkan untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) Biologi. Hal ini karena sepengetahuan saya, guru SMA Negeri tidak begitu mendukung siswa-siswanya yang mengikuti olimpiade. Ditambah, saya kebetulan masuk kelas akselerasi di SMA sehingga sekali saya absen kelas, saya akan tertinggal banyak materi. Akan tetapi, saya tetap mengikuti seleksi, mulai dari tingkat sekolah, kota, hingga provinsi. Alhamdulillah, dengan persiapan saya yang kurang dibanding peserta lain, saya diberi Allah kelolosan ke OSN 2015 mewakili provinsi Jawa Barat. Selama sebulan dari pengumuman ke perlombaan, saya fokus mempelajari olimpiade karena kalaupun saya tetap memprioritaskan sekolah, saya pasti akan tetap tertinggal karena menjadi peserta OSN membuat saya sering absen dari kelas. Sejak saat inilah, saya menyadari bahwa minat terbesar saya selama ini adalah biologi dan bukan hitungan. Ditambah dengan sulitnya saya menyusul pelajaran setelah kembali dari dispensasi (sesuai perkiraan saya bahwa dukungan bagi siswa olimpiade di SMA Negeri akan kurang), mantaplah hati saya.


Tetapi, saat itu yang muncul sebagai cita-cita saya bukan menjadi dokter. Di olimpiade biologi, bidang yang paling saya sukai adalah biologi sel dan molekuler; bidang yang akan saya pelajari lebih lanjut bila saya menjadi insinyur biologi. Saya ingin menjadi peneliti biosintetik, bidang yang sedang sangat berkembang di dunia, di mana penelitian saya nantinya akan berhubungan langsung dengan manusia. Hanya saja, bidang ini berkembang di dunia dan bukan di Indonesia. Hal ini menyebabkan keluarga saya, yang biasanya membebaskan saya memilih cita-cita, mengarahkan saya untuk menjadi dokter. Awalnya, debat antara saya dan keluarga soal cita-cita saya selalu berakhir buruk. Saya bahkan sempat berpikir untuk mengambil kedokteran hanya dalam rangka membalas jasa keluarga saya selama ini. Namun, saya kemudian mengetahui bahwa insinyur biologi di sini lebih banyak bekerja merekayasa tanaman. Cita-cita saya, meneliti manusia secara langsung, di sini lebih banyak dilakukan dokter peneliti. Akhirnya, akhir bulan Januari 2016 lalu, mantaplah hati saya. Kuliah kedokteran tidak lagi menjadi cara saya membalas budi, tetapi juga cara saya mencapai cita-cita hidup saya.


Ya, bulan Januari! Hal ini berarti saya hanya memiliki waktu empat bulan satu minggu untuk mempelajari materi SBMPTN. Awalnya, saya mengira saya sudah cukup siap menghadapi SBMPTN. Saya sendiri bukan orang yang rajin belajar setiap hari; saya sering belajar sistem kebut semalam dan mengerjakan PR di sekolah. Hal ini membuat orangtua saya sering mengingatkan saya belajar ketika kelas reguler masuk kelas 12 (saat itu, saya berada di tengah pembelajaran kelas 11), padahal biasanya saya dibiarkan saja. Karena sepertinya saya belum sepenuhnya memahami medan yang akan saya hadapi, pada bulan Januari itulah ibu saya kemudian berkata pada saya, “Kalau Kakak terus-terusan belajarnya seperti ini, bakal susah Kak buat lolos. Apalagi, Kakak mau masuk FKUI, kan?”. Perkataan ini begitu menohok diri saya. Saya sebenarnya ikut les, tapi perkembangan saya di les tidak begitu signifikan; saya belum pernah les sebelumnya dan ternyata saya tidak cocok dengan cara belajar di tempat les. Saya pun membuat target pembelajaran.


Saya adalah orang yang senang bermain; bahkan, saya pernah ada di fase sering membolos kelas. Namun, waktu itu saya menyadari bahwa saya ternyata belum bisa banyak sekali, terutama pada pelajaran fisika di mana saya tidak bisa hampir sama sekali pelajaran kelas 10-12 yang terdiri dari 30 bab. Dengan waktu yang hanya empat bulan, terdengar mustahil untuk mengejarnya. Saya kemudian membuat target fantastis, menyelesaikan rangkuman dan latihan soal 10 bab/7 hari! Berarti saya menargetkan untuk menyelesaikan materi fisika tiga tahun hanya dalam waktu tiga minggu. Tercapai? Tidak. Selain pembagian waktu awal yang sering tidak efektif, pada bulan Februari kelas saya harus mengikuti banyak ujian. Tapi alhamdulillah, dengan mengorbankan bermain (saya jadi jarang ke kantin dan pulang sesegera mungkin untuk belajar di rumah) dan memanfaatkan setiap waktu yang ada, seperti di kala menunggu dijemput atau sedang di mobil, saya berhasil memahami pelajaran fisika dalam waktu tiga bulan.


Di tengah-tengah pembelajaran saya, waktu untuk mendaftar SNMPTN Undangan tiba. Sejak saya memutuskan untuk masuk kuliah kedokteran, saya tidak lagi mengharapkan undangan. Di luar dugaan saya, ranking paralel saya bagus. Saya yang awalnya akan mendaftar kedokteran bukan di UI menjadi bimbang. Pada akhirnya, saya mendaftar kedokteran UI dengan pertimbangan saya tidak akan mundur sebelum berperang; meskipun saya kemungkinan akan gagal karena yang diambil biasanya hanya satu orang, saya masih memiliki dua kesempatan untuk masuk FKUI, yakni via SBMPTN dan SIMAK. Saat pengumuman, benar saja, saya tidak lolos. Tapi, ternyata UI tidak menerima satu pun pendaftar dari sekolah saya. Saya sempat kaget, tapi kemudian saya bangkit lagi. Kata-kata motivator dari tempat les menjadi semangat saya, bahwa kalau saya tidak diundang langsung oleh jurusan dan universitas yang saya inginkan, saya tunjukkan saja kalau saya mampu dan berhak menjadi mahasiswa di tempat tersebut lewat nilai SBMPTN. Bulan itu, saya sedang belajar matematika, jadi saya belajar semakin keras; tiap hari saya isi dengan latihan soal matematika.


Tetap saja, sekuat apapun semangat saya, pada pertengahan bulan Mei saya mulai sakit-sakitan. Kepala saya sepertinya sudah lelah dengan forsiran saya dalam belajar. Saya pun menambah jam istirahat saya. Sekalipun begitu, begitu saya sakit, saya menjadi sangat puas dengan usaha saya; artinya, saya sudah berusaha semaksimal mungkin yang saya mampu. Apapun hasilnya, itu bukan karena saya yang kurang berusaha atau Allah yang tidak adil pada saya, tetapi karena itulah yang terbaik untuk saya.


Akhirnya, hari SBMPTN pun tiba. Awalnya perasaan saya biasa-biasa saja; saya mewajibkan diri saya untuk merasa demikian karena saya tahu saya tidak akan bisa maksimal kalau saya gugup. Target saya saat SBMPTN adalah mengeluarkan seluruh kemampuan saya, jadi kalau saya belum apa-apa sudah gugup, target saya itu tidak mungkin tercapai. Akan tetapi, begitu saya masuk ruangan, saya mulai tegang. Saat itu, saya teringat tips bahwa membaca shalawat dapat menghilangkan kegugupan. Saya pun banyak-banyak berdoa sebelum SBMPTN dimulai, memasrahkan apapun hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah, saat saya mengisi soal, kegugupan di diri saya hilang. Beberapa soal yang awalnya saya tidak tahu jawabannya pun pada akhirnya dapat saya isi; saya seperti dituntun oleh Allah SWT. SBMPTN pun berakhir. Sekalipun saya mengisi lebih sedikit dari biasanya, saya tahu saya sudah berusaha semaksimal mungkin, jadi saya senang. Saat itu, saya tidak yakin akan lolos ke FKUI yang merupakan pilihan pertama saya, tapi lama kelamaan saya semakin berharap bahwa itulah jawaban dari usaha dan doa saya selama ini.


Jeda antara tes dengan pengumuman SBMPTN adalah kurang lebih satu bulan. Selama itu, saya mengikuti beberapa Ujian Mandiri PTN, termasuk di antaranya SIMAK UI, dan jujur semakin lama saya semakin lelah dengan semua tes tersebut. Saya ingin sekali lolos SBMPTN. Saya tahu betul, ini bukan hal yang benar karena kalau saya tidak lolos, saya tidak akan siap menghadapi ujian-ujian berikutnya, tapi saya benar-benar sudah lelah. Ditambah, keinginan saya untuk lolos ke FKUI semakin besar setiap harinya. H-1 pengumuman SBMPTN, saya takut bahwa hasilnya tidak akan seperti yang saya bayangkan selama ini; yakni, diterima di pilihan satu atau dua. Saya pun membaca tulisan orang-orang yang gagal SBMPTN dengan maksud mempersiapkan mental, tapi nyatanya saya malah semakin takut. Akhirnya, saya membaca kisah-kisah orang yang sukses SBMPTN.


Pengumuman pun tiba. Hari itu, rasanya saya terpikir terus akan pengumuman SBMPTN yang akan dikeluarkan tepat jam 2 siang. Hal apapun yang saya lakukan awalnya tidak bisa mendistraksi saya akan pikiran itu, tapi akhirnya saya bisa lupa sejenak. Saat akan pengumuman, saya bermain dengan adik saya dan teman-temannya. Jam 13.55, saya mengasingkan diri ke kamar. Website yang saya buka hanya website dan mirror pengumuman SBMPTN. Begitu tepat jam 2, saya langsung membuka sbmptn.untan.ac.id dan memasukkan data peserta saya. Saat itu, saya tidak memiliki bayangan akan hasilnya; hal yang saya senangi karena biasanya hasil yang saya dapat seringkali sesuai dengan apa yang saya perkirakan sesaat sebelum membuka pengumuman (dan kalaupun tidak, saya pasti akan lebih terpuruk dibanding bila saya tidak memikirkan apa-apa). Website mirror Untan loading-nya cepat sekali, sehingga tak lama, saya sudah membaca kata “Selamat” dan “Pendidikan Dokter – Universitas Indonesia” di website tersebut. Saya pun segera berteriak dan loncat-loncat keluar saking senangnya, membuat saya diledek oleh teman-teman adik saya. Rasanya saya senang luar biasa. Saya belum pernah seingin itu akan sesuatu, jadi saat saya mendapatkannya, rasanya sangat menyenangkan. Rasanya semua seperti mimpi sampai-sampai saat saya mengabarkan orang lain, saya melakukannya dengan tangan bergetar. Sungguh, bahagia sekali rasanya, bisa mendengar suara bahagia dari orangtua dan teman-teman saya. Begitu pengumuman ini, ternyata segala lelah dan jerih payah saya menjadi sangat menyenangkan untuk diingat. Semuanya terbayar, alhamdulillah Ya Allah.


Ada beberapa hal yang menurut saya sangat penting untuk diingat dalam menjalani perjuangan untuk meraih mimpi yang diinginkan, khususnya dalam meraih jurusan. Pertama, percaya dengan mimpi sendiri dan jangan kalah sebelum berperang. Beranikan diri untuk memutuskan meraih mimpi tersebut, sekalipun ada jalan lain yang lebih mudah. Saya selalu termotivasi dengan kata-kata Dhirubai Ambani, “For those who dare to dream, there is a whole world to win.” Untuk yang berani bermimpi, ada seluruh dunia untuk dimenangkan. Kedua, setelah berani bermimpi, alangkah melegakan apabila segala sesuatunya diniatkan untuk Allah SWT. sehingga kalaupun kita gagal, kita tidak akan merasa rugi karena kita insyaallah akan mendapat sesuatu yang lebih besar, yakni kedekatan dengan Yang Maha Kuasa. Ketiga, memang penting untuk kita mengingat terus target yang kita miliki, tapi perjuangan akan terasa lebih ringan kalau orientasi kita bukan pada hasil, tapi pada seberapa maksimal usaha kita. Dengan lebih menekankan pada usaha dibandingkan hasil, kita akan lebih tenang di kala ujian sebenarnya dimulai. Kalaupun gagal, insyaallah kita juga tidak akan terlalu terpuruk karena kita tahu bahwa kita sudah memberikan segalanya; artinya, kegagalan itu ialah yang terbaik. Keempat, setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mencapai mimpinya, jadi tidak perlu minder melihat usaha orang lain. Terakhir, dan yang paling penting, percayalah pada karunia dan takdir-Nya; bahwa Ialah yang mengetahui yang terbaik untuk kita. Banyaklah berdoa dan selalulah bertawakal.


Ada satu perkataan yang saya baca mengenai hal ini H-1 SBMPTN. Kalimat ini begitu menenangkan hati saya saat itu.


“Saya minta sesuatu pada Allah.
Jika Allah memberinya padaku,
saya gembira sekali saja.
Namun, jika Allah tidak memberinya padaku,
saya gembira sepuluh kali lipat.
Sebab, yang pertama itu pilihanku,
sedangkan yang kedua itu pilihan Allah.”
- Ali bin Abi Thalib

Selamat meraih mimpi, semuanya. Semoga senantiasa dimudahkan perjuangannya dalam meraih mimpi-mimpinya. Dengan usaha dan berdoa, insyaallah, tidak ada mimpi yang sulit dicapai, termasuk menjadi mahasiswa FKUI. Saya sendiri memiliki mimpi baru, yakni mengusahakan yang terbaik agar dapat menuntut ilmu dengan baik di FKUI sehingga nantinya dapat menjadi dokter yang baik dan membanggakan bagi keluarga dan almamater. Aamiin Ya Allah ya Rabbal aalamiin. Mohon doanya.

Komentar

Posting Komentar