[Perjalanan Menuju FKUI] Afiyatul Mardiyah

Setitik Cahaya Gunung Karang di Makara Hijau

Nama saya Afiyatul Mardiyah, saya berasal dari Serang, Banten. Saya lahir pada 24 Oktober

1998 di Kota Cilegon. Dulu saya bersekolah di SMAN Cahaya Madani Banten Boarding School

angkatan ke-9. Sebuah sekolah menengah atas negeri asrama khusus anak banten yang terletak di

Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, tepatnya kaki gunung karang. Seorang pecinta langit,

sesuatu yang berhubungan dengan galaksi. Saya memiliki impian menjadi penghafal Al-Quran dan

terbang ke luar angkasa. Saat ini, saya adalah seorang mahasiswi FKUI 2016. Inilah perjalanan

saya, dari suatu gunung saya lukiskan sebuah mimpi dan kini saya berjalan mewujudkannya.

Dokter ? Tak pernah terpikirkan oleh saya,dokter akan menjadi profesi yang akan saya

tekuni di masa depan. Bukan orang yang mudah bersosialisasi, menyukai angka, dan tak terlalu

bersahabat dengan huruf, membuat saya tak pernah berpikir bahwa aku ingin menjadi seorang

dokter. 'Akan kemana ?' 'Menjadi apa ?' Seperti menjadi topik hangat di kalangan anak kelas 3

SMA. Pertanyaan itu pun yang banyak orang tanyakan pada saya. Bayangan yang pertama kali

muncul saat seorang menanyakan hal itu adalah saya akan menjadi insinyur, saya akan membuat

pesawat, satelit dan pesawat ulang aling untuk Indonesia, saya akan membuat indonesia terbang

melewati langit sana.

Biasanya orang akan menatap saya heran, bertanya-tanya 'Apakah mungkin?'. Namun,

keraguan mereka tak menghentikan saya. Dengan keinginan saya itu, saya pun bertekad untuk

meneruskan prodi studi di Teknik Dirgantara pada salah satu universitas di Bandung. Mulai saat itu,

di setiap malam, sebelum saya tertidur, saya selalu membayangkan saya berdiri dengan almamater

hijau sembari mengepalkan tangan. Lalu, berteriak dengan semangat mengucapkan salam

ganesha.

Lantas impian saya itu saya ceritakan kepada ayah saya. Ayah saya seorang dokter. Ayah

saya hanya terdiam, begitupun ibu saya. Saya tau diamnya mereka adalah penolakan mereka. Ayah

selalu mengatakan kepada saya, ia ingin saya menjadi sepertinya. Ibu saya selalu bercerita

bagaimana ia ingin menjadi dokter namun tidak bisa mewujudkannya.

“Kalian perempuan. Ada batasan tertentu untuk perempuan. Kalian nantinya bekerja dan

hidup bukan hanya untuk diri kalian sendiri. Kalian akan berkeluarga nantinya, menjadi seorang istri

dan seorang ibu. Mimpi kalian bukan hanya tentang diri kalian, tapi juga Allah, orangtua, umat islam,

orang-orang di sekitar kalian dan keluarga kalian di masa depan nanti.”

Kata-kata itu berasal dari salah satu guru saya saat ia menyampaikan ceramahnya.

Menyadari hal itu membuat saya merenung. Ibu saya tidak tersenyum. Saya tidak suka hal itu. Apa

yang saya lakukan selama ini, semata mata hanya ingin melihat orang tua saya tersenyum.

Perlahan tapi pasti saya pun mulai membuat mimpi yang baru. Melihat ibu saya tersenyum di saat

kelulusan saya.

Saya mulai mengubur mimpi saya yang dulu, menghapus semua kata-kata tentangnya dari

buku-buku, menghilangkan mereka semua dari dinding kamar saya. Saya pun menggantinya yang

baru “Aku akan menjadi DOKTER”. Tak peduli di Kedokteran mana. Saya hanya ingin menjadi

Respon orang-orang saat mendengar saya akan menjadi dokter,

“Seriusan ? Jangan dibunuh pasiennya fi, ditolong.”

“Ukhti jadi dokter ? Harus rapih dan pake rok loh ti, ga boleh serampangan.”

“Ga ada muka dokternya.”

“Emang kamu bisa nolong orang ?”

“Harus bisa bersosialisasi, fi. Punya rasa sosial dan peduli orang.”

“Lebih cocok jadi teknik atau ilmu murni sih.”

Iya, saya belum memilikinya. Saya tidak seperti teman-teman saya yang bermimpi menjadi

dokter sebelumnya. Bahkan niat saya saja belum mencerminkan diri saya sebagai seorang dokter.

Tapi saya akan berusaha.

Hari berganti dengan cepat. Tak terasa SNMPTN sudah ada di depan mata. Tujuan harus

segera diputuskan dan hati harus diyakinkan. Saya akan mendaftar kedokteran, lantas kedokteran

mana ? Di daerah saya tak ada kedokteran. Ayah saya menyarankan agar saya mendaftar di salah

satu universitas kedokteran negeri di Bandung. Dengan keyakinan saya akan lebih mudah diterima

karena banyak sekali alumni sekolah saya belajar di sana.

“Kenapa ga di Kedokteran UI saja ?”

“Ga ketinggian ? Kamu ga pernah menang lomba apa-apa, sekolah di gunung, sedikit alumni

dari sekolah kamu di sana. Kecil kemungkinan kamu keterima.”

“Kenapa harus mendaki gunung yang rendah selama kita bisa mendaki gunung yang tinggi ?

Bermimpi lebih tinggi dari langit yah, seandainya jatuh kita masih jatuh di langit juga.”

“Mimpi boleh tapi ya realistis. Kalo kamu ga keterima di mana-mana gimana ?’

“Aku pasti keterima.”

Saya berusaha yakinkan ayah saya, tapi tak membuahkan hasil. UI selalu menjadi hal yang

tabu di lingkungan saya. Kata-kata ‘ingin masuk FKUI’, selalu terdengar hal yang tak mungkin di

sini. Alasan saya memilih FKUI bukan karena FKUI adalah yang terbaik di Indonesia. Karena saya

tau, betapa bahagianya orang tua saya jika saya bersekolah di sana dan bersekolah di sana akan

meringankan beban orang tua saya. Selain itu, UI salah satu universitas yang terdekat dengan

Provinsi Banten. Saya tidak perlu jauh dari orang tua saya lagi. Namun pada akhirnya, saya pun

mendaftar di Bandung.

Bagi kelas 3 SMA, kegiatan bimbel, seperti menjadi hal yang wajib. Untuk menghadapi UN,

SBMPTN dan berbagai ujian lainnya. Belajar lebih, mengerjakan soal maupun melakukan TO

adalah hal yang dibutuhkan. Begitupun saya dan teman-teman saya, setiap hari kami melakukan

bimbel di sekolah, sore ataupun malam. Pada akhir minggu, kami turun gunung untuk melakukan

bimbel tambahan dari luar. Kesulitan untuk menjalin komunikasi dan mengakses informasi menjadi

beban tambah untuk usaha yang harus kami lakukan. Lelah ? Sangat. Tapi kami harus tetap

semangat. Siapa lagi yang akan berusaha jika bukan kami ?

Perjalanan menuju pengumuman SNMPTN diisi dengan berbagai ujian, baik dari sekolah

maupun asrama. Belum target hafalan Al-Quran yang deadlinenya semakin mendekat. Dengan

berbagai kesibukan, tak terasa hari pengumuman pun tiba. Pada tanggat 9 Mei 2016 pukul 13.00

WIB, saya dan teman-teman saya mulai membuka web SNMPTN. Mulai terdengar teriakan takbir

dan hamdalah dari asrama. Betapa bahagianya teman-teman saya yang berhasil diterima. Di sisi

lain mulai terdengar tangisan rintih dan pilu, ungkapan kesedihan dari mereka yang belum berhasil.

Saya yang belum melihat hasil saya saat itu, hanya terdiam. Akan di sisi sebelah mana saya

berada? Hati pun mulai berdebar.

Maaf,

Itulah kata yang tertera di sana. Saya hanya terdiam. Tanpa saya sadari air mulai berjatuhan

membasahi pipi saya. Perasaan apa ini ? Kecewa ? Saya rasa bukan. Ini adalah penyesalan. Saya

menyadari saya belum sepenuhnya rela melepas mimpi saya yang dulu. Kata-kata jika dan

andaikan mulai membanjiri pikiran saya. Tidak ! Saya tidak boleh menangis, saya tidak boleh

bersedih. Ini adalah jalan yang diberikan-Nya. Allah tidak suka pada hamba-Nya yang suka berpikir

‘jika’ dan ‘andaikan’. Tidak boleh ada penyesalan karena ini semua adalah pilihan. Saya telah

memilih untuk menjadi seorang dokter. Dan saya akan mewujudkannya.

Gagal dalam SNMPTN, menjadi bahan bakar semangat saya untuk lulus SBMPTN. Belajar

lebih giat. Memanfaat sebaik-baiknya waktu untuk belajar dan mengerjakan soal di tengah

kesibukan. Tak lupa doa terus saya panjatkan. Baik dengan berpuasa, sholat sunah, dan membaca

surat-surat Al-Quran, untuk memantapkan hati. Pendaftaran SBMPTN tiba, lagi-lagi saya harus

memilih. Ayah saya memilih universitas di Jawa Timur dan Sumatera. Saya kembali membujuk ayah

saya agar memperbolehkan saya memilih Universitas Indonesia. Melihat betapa semangat dan

optimisnya saya, ayah saya pun mendukung saya untuk berjuang demi FKUI.

Tanggal 31 Mei 2016, berlokasi di FK UIN, saya menempuh ujian SBMPTN. Saya telah

berusaha, dan kini tinggal bagaimana Allah yang akan memutuskannya. Tawakaltu ala Allahi.

Menunggu adalah hal yang sulit. Tidak ada kepastian. Tidak ada jawaban. Dipenuhi rasa

ragu dan bimbang.

Hari pengumuman SBMPTN tiba, jam menunjukan pukul 2 siang. Di rumah, setelah sholat

hajat, saya mulai membuka websitenya. Tak bisa, server down. Semua orang pasti sedang berusah

mengakses pengumumannya. Saya kembali menunggu dengan hati yang berdebar. Di rumah

hanya ada saya, ibu dan adik saya. Ibu saya mulai menatap saya ragu. Dia bertanya pada saya

bagaimana jika hasilnya tidak bagus dan menyarankan saya masuk ke perguruan swasta. Saya

hanya tersenyum dan menjawab dengan yakin bahwa saya akan lulus di perguruan tinggi negeri.

Beberapa saat kemudian, saya menerima pesan line dari teman saya. Yang mengatakan,

“Barakillah !! Nomor peserta 116-30- 16402. Nama Afiyatul Mardiyah. Tanggal lahir 24

Oktober 1998. Selamat Anda dinyatakan lulus SBMPTN 2016 : 311011, PENDIDIKAN DOKTER,

UNIVERSITAS INDONESIA.”

Melihat pesan tersebut, kata-kata takbir dan hamdalah tak henti terucap dari mulut saya.

Sujud syukur pun tak lupa saya lakukan. Terimakasih ya Allah. Tak kuat, air mata pun mulai

berjatuhan. Ibu saya keluar dari kamar dan mempertanyakan kenapa saya menangis. Saya pun

memberikan hasilnya kepada beliau. Sesaat kemudian, saya merasakan ia memeluk saya dengan

erat. Saya dapat merasakan air matanya membasahi pundak saya. Dengan suara pelan, menahan

isakkan, ia pun membisikan kata terimakasih berulang kali di telinga saya. Ibu saya tersenyum

bangga menatap saya. Kemudian, ia melangkahkan kakinya ke kamar. Terdengar dari luar, dengan

senangnya ia memberitahu ayah saya atas keberhasilan saya.

Terimakasih ya Allah. Terimakasih akan kado dari-Mu ini. Terimakasih karena sekali lagi

saya bisa membuat ibu dan ayah tersenyum.

Tak ada yang tak mungkin. Selagi kita masih bisa berusaha. Tak ada yang salah dari

bermimpi. Karena itu, bermimpilah sebanyak-banyaknya. Peganglah mimpi-mimpi itu dan

percayalah kalian bisa mewujudkannya. Jika kalian saja tidak percaya, bagaimana mimpi itu bisa

terwujud ? Hadiah terbaik dari-Nya akan datang saat waktunya. Guru saya pernah menceritakan

sebuah kisah tentang Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Saat itu Ali ditanya oleh salah satu sahabat

tentang apakah ia sedih saat keinginannya tidak terwujud, kemudia Ali menjawab, “Tentu saja sedih.

Namun, aku tetap bersyukur karena pilihan pertama adalah pilihanku, pilihan kedua adalah pilihan-

Nya. Allah selalu memberikan hadiah terbaik untuk hamba-Nya.”

Saya hanya seorang anak gunung. Yang bersekolah di salah satu daerah yang mungkin

masih terbelakang di Indonesia. Dengan segala kekurangan, kesulitan dan masalah. Namun, itulah

senjata saya. Saya bukan orang biasa. Saya berbeda. Dan perbedaan itu yang membuat saya

istimewa.

“Kami adalah 88 cahaya. Kami mungkin redup. Cahaya kami tidak seterang cahaya kalian.

Tapi redup tidak berarti kami mati. Karena kami adalah cahaya perjuangan. Yang akan selalu

tumbuh terang benderang.” – Puisi Revolver’09 saat SDC Andalusia

FK UI, tidak pernah menjadi awal pilihan saya.

FK UI, bukan pula awal dari mimpi saya.

Namun kini, saya berjalan di atasnya,

dengan pekik UI yang menggema di hati saya.

FK UI adalah jalan yang akan mengantarkan saya menggapai impian saya.

Komentar

  1. hebat banget! semoga sukses yaa jadi dokter :)

    BalasHapus
  2. selamat ya! semoga sukses menjadi dokter!

    BalasHapus
  3. Sukses terus fia! Maannajah:))

    BalasHapus
  4. Selamat fiaaa!! semoga sukses menjadi seorang dokter nantinya.

    BalasHapus
  5. Keren bgtttt menginspirasi! Semoga kamu semakin didekatkan dengan Allah dan dengan impianmu menjadi dokter ya! Amin

    BalasHapus
  6. Nadzila Anindya Tejaputri14 Agustus 2016 pukul 23.09

    Wahh mantap sekali fiyaa!kita disini akan terus berjuang bersama-sama ya,goodluckk!:D

    BalasHapus
  7. Fiaaa aku terharu bacanya, mangat kakak ipaar !!!!lovyuuu

    BalasHapus
  8. Selamat, Fiya! Kamu sudah membuktikannya. Sekarang, maju terus menuju "menjadi dokter" ya!

    BalasHapus
  9. manthap banget nih anak serang kwkw

    BalasHapus
  10. Muhammad Farel Ferian15 Agustus 2016 pukul 21.19

    Untung jadinya fkui ya bs ketemu kita sukses teruss!

    BalasHapus

Posting Komentar