
Nama saya Amira Az Zahra, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia angkatan 2016. Saya diberikan kesempatan untuk berbagi kepada pembaca mengenai perjuangan saya untuk menjadi bagian dari FKUI2016. Mungkin sebaiknya tulisan ini saya mulai dengan awal mula munculnya keinginan untuk menjadi seorang dokter.
Ketika saya masih kanak-kanak, kakek saya dirawat di rumah sakit karena mengidap penyakit jantung. Saya adalah cucu pertama Kakek dan sangat dekat dengan beliau, sehingga bisa dibilang saya tumbuh bersama kunjungan-kunjungan ke rumah sakit untuk menjenguk Kakek. Dalam kunjungan-kunjungan itulah saya pertama diperkenalkan kepada profesi dokter.
Bagi Amira kecil, para dokter adalah orang-orang yang hebat. Malaikat, bahkan, saya pernah menganggap mereka seperti itu, sebagai orang-orang yang akan mengembalikan Kakek seperti sediakala, Kakek yang selalu ada ketika saya pulang dari sekolah, yang memberikan saya hadiah-hadiah yang terbaik, yang menjadi salah satu teman terdekat saya.
Kakek selalu memuji para dokter yang menangani beliau dan mengatakan bahwa saya harus bisa menjadi sehebat mereka. Keluarga saya juga mengatakan bahwa menjadi seorang dokter adalah sebuah pekerjaan yang mulia, bahwa hidup yang didedikasikan untuk orang lain adalah hidup yang baik. Entah karena perkataan orang-orang terdekat saya, pengalaman pribadi melihat para dokter bekerja atau karena keduanya, tetapi sejak saat itu suatu keinginan baru mulai tertanam dalam diri saya. Sejak saat itulah impian untuk menjadi dokter mulai muncul.
Saya masih ingat suatu hari dimana Kakek dengan bangga memberitahu salah seorang dokter yang datang mengunjungi kamarnya bahwa saya ingin menjadi seorang dokter. Kala itu dokter tersebut berkata pada saya bahwa saya harus belajar dengan baik, menjadi seorang dokter dan menyembuhkan Kakek. Saya juga masih ingat jawaban saya hari itu, “Dokter sembuhkan Kakek, Mia belajar dulu. Nanti Kakek bisa lihat Mia jadi dokter.” (Kejadian ini memang sudah lama sekali, ketika saya masih sangat kecil dan masih pantas dipanggil Mia.)
Bagaimanapun juga, takdir berada di tangan Tuhan dan manusia tidak dapat mencegah keputusan-Nya. Kakek meninggal kurang lebih setahun setelah memulai perawatan di rumah sakit. Sedihkah saya ketika itu? Tentu saja. Saya kehilangan salah satu orang yang paling saya sayangi. Namun apakah saya kecewa? Marah, kehilangan kepercayaan kepada para dokter, kepada takdir, kepada hidup itu sendiri? Tidak. Saya memang masih kecil kala itu, tetapi saya dibesarkan di lingkungan yang selalu mengajarkan saya untuk percaya pada Tuhan dan segala rencana-Nya. Saya mengerti bahwa kami, keluarga dan pihak rumah sakit, telah mengupayakan yang terbaik, hanya saja Tuhan telah menyiapkan tempat yang lebih baik lagi untuk Kakek.
Janji saya pada almarhum Kakek menjadi salah satu pegangan saya dalam mengejar cita-cita. Sejak meninggalnya Kakek, saya menetapkan pilihan dan memantapkan tujuan untuk menjadi seorang dokter. Untuk mencapai cita-cita ini, kala itu orangtua saya merekomendasikan bagi saya ketika telah tiba waktunya untuk mengikuti perkuliahan di FKUI, dengan pertimbangan Universitas Indonesia sebagai universitas tertua dan dapat dikatakan terbaik di Indonesia. Saya memiliki pandangan yang sama seperti orangtua saya. Walaupun hasil pembelajaran dalam bentuk apapun bergantung pada masing-masing peserta didik, saya percaya bahwa pembelajaran yang difasilitasi dengan baik, baik dalam hal tenaga pengajar maupun sarana-prasarana akan memberikan hasil yang baik pula. Karena itulah, saya memutuskan untuk berusaha agar dapat mengikuti perkuliahan di FKUI karena saya merasa jika saya bersungguh-sungguh dalam belajar dan berusaha, fasilitas terbaik yang dimiliki oleh FKUI akan dapat membantu saya menjadi seorang dokter yang baik dalam arti tidak hanya berwawasan luas tetapi juga dapat menangani pasien dengan sebaik-baiknya.
Perjuangan saya untuk menjadi bagian dari FKUI dimulai dari perencanaan. Sejak kecil, saya terbiasa untuk menetapkan tujuan-tujuan yang ingin saya capai sebagai pengingat bagi saya untuk terus berusaha mencapai yang saya inginkan. Tujuan-tujuan ini diantaranya mencakup sekolah apa yang akan saya masuki, pencapaian apa yang harus saya dapatkan dan hal apa saja yang harus saya lakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sejujurnya, semua rencana saya berjalan dengan cukup lancar, tujuan-tujuan saya tercapai dengan baik.
Mungkin karena semua berjalan begitu lancar, saya menjadi terlalu percaya diri. Mungkin Tuhan ingin mengingatkan saya bahwa saya tidak bisa selalu mendapatkan apa yang saya inginkan dengan cara yang saya kehendaki. Satu kendala datang menghadang langkah yang terakhir.
Sejujurnya, salah satu impian terbesar saya selain menjadi bagian dari FKUI itu sendiri adalah menjadi bagian dari FKUI melalui SNMPTN. Begitu dibanggakannya jalur undangan tersebut oleh kedua orangtua saya, begitu terikatnya jalur tersebut dengan perkuliahan itu sendiri dalam pikiran saya. Lingkungan di sekitar saya saat itu terbiasa dengan mengatakan bahwa saya akan mendapatkannya, bahwa saya akan lolos seleksi melalui jalur SNMPTN. Saya pun terbiasa dengan diberikan bunga-bunga semacam itu. Begitu terbiasanya saya hingga konsep “jalur tulis” tidak menjadi salah satu pilihan saya kala itu.
Kemudian, hari pengumuman datang. Saya tidak mempersiapkan diri untuk sebuah kekecewaan dan karenanya pada hari itu saya seperti kehilangan arah. Sejujurnya bukan fakta bahwa saya harus berusaha lagi yang membuat saya kecewa, tetapi fakta bahwa segala usaha, segala pencapaian, segala pengorbanan selama saya di SMA ternyata tidak berhasil membawa saya kepada apa yang saya inginkan. Bahwa malam-malam yang diisi dengan belajar tidak lagi berarti apa-apa.
Saya tahu saat itu saya tidak memiliki banyak waktu lagi dan karenanya harus segera bangkit kembali. Saya mendaftarkan diri untuk mengikuti tes SBMPTN dan SIMAK serta mengikuti program intensif di sebuah bimbingan belajar yang direkomendasikan oleh salah seorang teman saya.
Segala urusan pendaftaran memang tidak sulit, tetapi lain halnya dengan berdamai dengan diri sendiri. Kondisi saya ketika itu tidak terlalu baik dan dalam dua hari setelah pengumuman, saya masih menyesali segala hal yang tidak saya lakukan. Saat itu, saya mungkin akan jatuh lebih dalam jika bukan karena seorang kakak yang mengingatkan saya bahwa hidup tidak berakhir disini. Masih banyak cara untuk mewujudkan mimpi atau, mengutip langsung dari perkataannya ketika itu, “Masih banyak jalan menuju Depok. Roma kejauhan, berat di ongkos.” Mungkin bagi sebagian orang perkataannya itu tidak lucu, tetapi itulah pertama kalinya saya tertawa dalam dua hari tersebut.
Selain itu, saya juga mulai kembali mendekatkan diri pada Tuhan. Sejujurnya, dulu saya mungkin agak terbutakan oleh segala kemudahan yang saya terima. Namun sejak mengalami kesulitan tersebut, saya merasa diingatkan bahwa segala hal hanya dapat terjadi jika Tuhan menghendaki dan karenanya sejak saat itu saya selalu menyampaikan kepada Tuhan apa yang saya inginkan.
Selama sebulan penuh sebelum ujian tulis, saya mengikuti program intensif di bimbingan belajar. Memang sulit awalnya, dipaksa belajar setelah libur sebulan penuh, tetapi saya berusaha untuk mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Rasanya pun lebih menyenangkan untuk belajar dengan teman-teman yang, katakanlah, “senasib seperjuangan” dengan saya. Mereka orang-orang yang baik, yang memandang hidup dengan positif, yang tidak pernah patah semangat. Satu bulan masa persiapan saya terasa menyenangkan bersama mereka.
Di hari ujian, saya berusaha untuk mengerjakan soal dengan sebaik-baiknya. Memang sulit untuk yakin dengan semua jawaban saya, tetapi saya berusaha untuk percaya bahwa saya telah melakukan yang terbaik. Setelah seluruh ujian selesai adalah waktu bagi saya untuk menunggu.
Menunggu hasil ujian sesungguhnya terasa lebih mudah daripada ketika menunggu pengumuman SNMPTN. Mungkin karena usaha yang dilakukan terasa lebih nyata dan saya tahu seperti apa usaha yang saya lakukan, tetapi di masa-masa penantian ini saya memang merasa lebih tenang.
Rasa gugup dan takut mulai muncul beberapa jam sebelum hasil ujian diumumkan. Walaupun begitu, kekecewaan yang muncul ketika hasil SBMPTN diumumkan tidak seberat ketika pengumuman SNMPTN. Rasa itu memang ada, setitik rasa kecewa, tetapi tidak ada penyesalan. Mungkin karena sudah berpengalaman dengan rasa kecewa itu sendiri, atau karena saya percaya saya masih punya kesempatan melalui SIMAK, saya merelakan hasil SBMPTN.
Penantian hasil SIMAK rasanya kurang-lebih sama dengan menunggu hasil SBMPTN, hanya saja dengan jarak waktu yang singkat dengan pengumuman SBMPTN membuat saya lebih gencar dalam meminta kepada Tuhan. Di hari pengumuman, rasa gugup yang muncul terasa lebih besar daripada ketika pengumuman SBMPTN. Mungkin karena SIMAK adalah jalur terakhir untuk dapat menjadi bagian dari FKUI tahun ini, saya merasa lebih banyak hal yang dipertaruhkan saat itu.
Mengakses laman penerimaan.ui.ac.id dan menemukan kalimat “Selamat, anda diterima sebagai calon mahasiswa baru di Universitas Indonesia” mungkin adalah salah satu saat paling membahagiakan dalam hidup saya. Hal pertama yang saya dan ibu saya lakukan adalah menangis, bahkan sebelum kami membaca di fakultas mana saya diterima. Melihat tulisan Pendidikan Dokter, tangis kami pecah kembali.
Bagaimana rasanya menjadi bagian dari FKUI2016? Bahagia, tentu saja, lebih dari segala kesulitan yang mungkin datang setelah menjadi mahasiswi kedokteran itu sendiri, saya merasa bahagia. Saya juga sangat bersyukur menjadi salah satu orang yang beruntung untuk ada di sini sebagai bagian dari FKUI2016 dan berada di antara orang-orang yang hebat dari berbagai provinsi di Indonesia.
Di masa yang akan datang, saya berharap untuk dapat berkembang menjadi lebih baik dari sekarang. Menjadi bagian dari FKUI2016 adalah sebuah pencapaian yang sangat membanggakan, tentu saja, tetapi saya berharap untuk dapat mewujudkan pencapaian yang lebih baik lagi. Saya juga berharap agar kami, seluruh sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dapat mengembangkan dan memajukan FKUI baik dalam hal akademik, non-akademik maupun dalam penyediaan fasilitas penunjang pembelajaran, menjadikan FKUI sebagai fakultas kedokteran terbaik di Indonesia bahkan dunia, menjaga nama baik FKUI di masyarakat dan berkontribusi nyata bagi masyarakat itu sendiri. Sedangkan bagi keluarga saya, saya berharap agar kedua orangtua saya selalu sehat, agar nenek saya panjang umur, agar sepupu-sepupu saya yang masih kecil dapat belajar dengan baik, agar keluarga adik ibu saya yang tinggal di luar kota selalu mendapat kenyamanan dan tetap merasa dekat dengan kami yang tinggal di Jakarta, agar keluarga kakak ayah saya yang tinggal di luar negeri selalu dijaga dari pengaruh buruk yang mungkin ada, dan agar kami semua selalu bersama dalam perlindungan-Nya.
Seperti yang telah saya katakan di awal tulisan ini, saya akan berbagi tips untuk dapat menjadi bagian dari FKUI. Pertama adalah untuk selalu percaya dengan diri sendiri, untuk selalu mengembangkan kemampuan dan belajar hal-hal baru, untuk menjadi yang terbaik. Selalu persiapkan diri untuk segala hal yang mungkin terjadi. Keadaan tidak selalu berjalan seperti harapan kita dan jalan terbaik adalah dengan berharap untuk yang terbaik dan bersiap untuk yang terburuk. Saya selalu percaya bahwa jika kita memudahkan orang lain, kita juga akan mendapat kemudahan dan karenanya adalah hal yang baik untuk bergaul dengan orang-orang yang mampu mendukung kita dan saling membantu satu sama lain. Selalu berdoa dan percaya bahwa hanya Tuhan lah yang dapat mewujudkan mimpi-mimpi kita. Sampaikan pada Tuhan apa yang kita inginkan dan seberapa keras usaha yang kita lakukan. Tuhan tahu, tentu saja, tetapi mengatakannya akan membantu kita merasa lebih baik.
Tips yang terakhir dan yang terpenting adalah untuk selalu bekerja keras untuk apa yang kita inginkan. Selalu ingat mimpi-mimpi yang ingin kita wujudkan. Jangan pernah menyerah dan menerima hal yang hanya “cukup baik”, karena itu tidak akan pernah cukup. Tak masalah jika tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dalam percobaan yang pertama. Selama kita selalu berusaha untuk mengejar mimpi, kita akan mendapatkannya.
Ada dua buah kutipan yang selalu menjadi pegangan saya dalam melakukan berbagai hal. Yang pertama adalah “This too shall pass.” Ini akan berlalu. Segalanya akan berlalu, baik itu hal yang baik maupun hal yang buruk. Tidak ada yang bertahan untuk selamanya. Kebaikan dan kebahagiaan tidak akan selalu ada bersama kita dan karenanya kita tidak boleh berbesar kepala dan terlalu santai dalam menghadapi hidup. Keburukan dan kesulitan juga tidak akan selamanya dan karenanya kita harus bersabar dalam menghadapi cobaan, karena sesungguhnya keburukan juga akan berlalu. This too shall pass.
Kutipan kedua datang dari salah seorang seniman kesukaan saya, seorang pelukis post-impresionis yang menciptakan seni terindah yang pernah saya lihat, Vincent van Gogh. Ia pernah berkata, “If I am worth anything later, I am worth something now. For wheat is wheat, even if people think it is a grass in the beginning.” Saya percaya bahwa kita selalu bisa menjadi lebih baik dari kita yang sekarang, tak peduli siapa kita saat ini. Kita sebagai manusia adalah makhluk yang bernilai, yang keberadaannya memiliki tujuan, dan karenanya kita selalu bisa menjadi berguna bagi masyarakat baik sekarang maupun di masa datang.
mirr... loveyou mirr :* ayo kita join nulis novel bareng. :D
BalasHapuswahh keren mir! selalu semangat yaaaa
BalasHapussemangaaattt miraaa
BalasHapusKeren sist wkwk lanjutkan
BalasHapusGokil sih ini namanya totalitas! Makasih ceritanya, memotivasi nih, must read!
BalasHapusanak sma 8 memang hebat
BalasHapusFix calon dokter
BalasHapusMulai sekarang bukalah telinga amira
BalasHapussemangat teruus amira!
BalasHapuskeren bosq semangat terus
BalasHapusseep bagus bu dokter
BalasHapuskak saya izin repost untuk dijadikan cerpen dalam majalah yang akan saya buat boleh? menurut saya ini sangat menginspirasi
BalasHapus