[Perjalanan Menuju FKUI] Fona Qorina



Nama saya Fona Qorina, biasa dipanggil Fona dan berasal dari SMA Negeri 1 Bogor. Sejujurnya, saya sendiri tidak ingat persisnya kapan dan bagaimana awalnya saya membuat perjanjian dengan diri saya untuk menjadikan Fakultas Kedokteran UI sebagai tujuan. Seperti anak kecil lain, kalau ditanya apa cita-citanya, saya akan jawab, dokter. Lahir dan tumbuh besar di kota Bogor pun membuat saya familiar dengan Universitas Indonesia, Depok dan Bogor hanya butuh waktu setengah jam menggunakan KRL. Oleh karena itu, apabila ditanya tentang rencana kuliah, dengan lugunya saya menjawab, saya ingin menjadi mahasiswa FKUI.
Awal kelas 2 SMP, Ibu saya harus pergi ke Bengkulu karena tuntutan pekerjaan namun Ayah sedang melanjutkan kuliah di Jakarta sehingga memungkinkan saya dan adik tetap tinggal di Bogor. Pada masa-masa itu pun saya sadar kemampuan saya adalah menghapal, bukan berhitung. Lulus dari SMP 1 Bogor sebenarnya saya sempat berpikir untuk meneruskan sekolah di Jakarta karena yang saya dengar salah satu sekolah di sana selalu mendapatkan jatah undangan yang banyak ke FKUI namun ide itu ditolak mentah-mentah oleh orang tua saya, saya tetap tinggal di Bogor.
Lalu masa belajar Ayah saya selesai, sekeluarga sudah merencanakan pindah ke Bengkulu. Saat itu saya memasuki semester kedua di SMAN 1 Bogor. Dan keputusan yang saya beri kepada orang tua adalah, saya menolak ikut pindah. Saya tahu, Bogor sudah sangat strategis untuk mengejar mimpi saya. SMAN 1 Bogor adalah sekolah dengan reputasi sangat baik, setiap tahun setidaknya ada satu orang yang diterima lewat jalur undangan ke FKUI. Dan kalau saya ikut pindah banyak hal yang akan saya lewatkan. Saya memutuskan untuk tinggal di Bogor, sendirian. Saya percaya itu sebagai langkah awal saya lebih dekat dengan mimpi.
Bukan perkara mudah bagi saya beradaptasi, tetapi saya tidak bisa mengeluh karena itu adalah pilihan saya. Seperti kebanyakan orang, tentu saya sangat ingin mendapat undangan. Namun keinginan itu semakin lama semakin pudar seiring menurunnya nilai-nilai rapot saya. Selain itu, saya pun sadar di sekolah banyak sekali yang ingin masuk FKUI dan nilai-nilainya jauh di atas saya. Namun, pada saat itu saya belum peduli. Saya lebih fokus berorganisasi. Sibuk regenerasi lalu berlanjut pada program kerja masa jabatan. Alhasil, prestasi sekolah saya terabaikan. Meski begitu, tidak pernah ada sebersit penyesalan karena masa-masa itu adalah masa pendewasaan yang amat terasa bagi saya.
Saya kembali mempertanyakan mimpi saya ketika memasuki akhir semester 4. Pada saat itu, saya diberi kesempatan mengikuti sebuah lomba yang diselenggarakan oleh FKUI. Dan pertanyaan saya pun terjawab. Saya yakin, saya mau berada di tempat ini. Bagi saya, FKUI sebagai fakultas kedokteran paling tua tentu memiliki peran besar dalam menjaga kesehatan bangsa, selain itu saya pun terkesima setelah melihat dan secara tidak langsung merasakan sendiri sistem belajar di FKUI. Saya merasa terpanggil untuk mempelajari bidang ini karena saya pernah membaca sebuah artikel apabila kita memilih jurusan pilih jurusan yang membuat kita penasaran sampai rela mengulik macam-macam tentang jurusan tersebut. Kedokteran adalah ilmu yang senantiasa berkembang dan saya memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang apa saja yang ada di dalam tubuh saya sendiri. Sejak saat itu, saya semakin memantapkan hati untuk memilih bidang ini.
Selesai masa jabatan organisasi, barulah saya sadar bahwa saya harus belajar giat mengejar semua ketinggalan saya selama ini. Mustahil saya masih bergantung pada nilai rapot yang berantakan. Akhirnya saya mulai menyusun rencana belajar sejak libur semester 5. Saya pun memutuskan mendaftar sebuah bimbingan belajar setelah bertahun-tahun sekolah, saya tidak pernah mengikuti bimbingan belajar. Selain itu, saya pun membeli buku kumpulan soal SBMPTN. Saya terus memacu diri untuk benar-benar serius mempersiapkan segalanya. Saya mulai mencari-cari teman seperjuangan karena menurut pengalaman kakak kelas pada masa-masa ini kita butuh teman yang akan selalu mengingatkan dan memberi semangat, terlalu berat apabila semuanya dilewati sendirian.
Awal-awal sangat sulit menjalankan rencana belajar harian karena masih diselingi tugas-tugas sekolah dan persiapan Ujian Nasional. Saya baru bisa bernapas sedikit lega ketika semester lima berakhir. Liburan semester seharusnya adalah jadwal saya pergi ke Bengkulu namun saya menolak dan memilih untuk tetap tinggal di Bogor mengejar target belajar saya. Pada saat itu pun saya diminta mengemban amanah lain sebagai seorang koordinator acara kegiatan keagamaan di sekolah, pada awalnya saya ragu namun seorang teman berkata kepada saya, “Barangsiapa membantu menolong agama Allah maka Allah akan selalu memperkuat kedudukannya.” Maka saya pun berusaha membagi waktu yang saya punya, bahkan sempat ketika selesai survey lokasi acara di Puncak saya masih menyempatkan ke tempat bimbingan belajar. Karena kondisinya sedang libur akhir semester, tempat bimbingan belajar sangat nyaman karena tidak ada orang. Setiap hari saya datang ke sana, kadang bersama dengan salah seorang teman namun seringkali pun sendiri. Saya merasa kemampuan berhitung saya minim sekali maka saya memprioritaskan pelajaran Matematika, Fisika dan Kimia.
Lagi-lagi, ketika tiba waktu masuk sekolah jadwal saya berantakan, kerap kali saya membawa buku soal SBMPTN ke dalam kelas dan mengundang pertanyaan orang-orang. Semua teman saya serius mempersiapkan UN, selain itu pendataan jurusan untuk SNMPTN sudah mulai dilakukan. Pada awalnya, saya ragu menulis FKUI di samping nama saya. Segelintir teman memang sudah tahu tentang keinginan ini, namun saya masih belum berani. Semua orang sudah memiliki tujuannya masing-masing. Berkali-kali saya menangis menelepon orang tua karena saya bingung memilih. Bukan satu dua orang mempertanyakan mimpi saya, saya tahu yang ingin masuk FKUI adalah orang dengan nilai gemilang dan menduduki posisi tinggi di ranking angkatan. Saya pun mulai menuliskan alasan mengapa saya harus masuk FKUI. Salah satu alasan kuatnya adalah masalah jarak. Orang tua saya tidak selamanya di Bengkulu, sebentar lagi pun mereka akan pindah kembali ke Bogor. Kalau saya berkuliah jauh dari Bogor maka saya harus jauh dengan orang tua lagi. Sementara saya pun ingin merasakan kesempatan yang tidak saya dapatkan selama masa SMA.
Bukan hanya sekali pula saya berbeda pendapat dengan orang tua, terutama Ibu. Saya bersikeras ingin FKUI, saya berkata bahwa UI memiliki 3 pintu dan saya akan kejar ketiga-tiganya. Ibu saya lebih menyarankan untuk memilih universitas di Jawa Barat saja. Setelah saya jelaskan jalur masuknya, kurikulumnya serta alasan-alasan saya bersikeras memilih UI akhirnya Ibu saya luluh. Dan beliau benar-benar mendukung keputusan saya.
Saya juga sempat mencoba untuk melirik jurusan-jurusan lain, sempat ada beberapa yang masuk daftar saya. Semakin hari, semua orang semakin membicarakan SNMPTN dan saya belum melabuhkan hati. Sementara itu, progress belajar SBMPTN saya semakin berkurang karena persiapan ujian-ujian di sekolah. Berkali-kali pula saya memohon petunjuk, sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk memilih apa yang benar-benar saya idamkan. SNMPTN saya hanya memilih FKUI. Saya sadar, mimpi itu sudah jauh lebih dahulu ada sebelum masa-masa pemilihan jurusan ini terjadi.
Setelah finalisasi, saya benar-benar melupakan SNMPTN. Saya sadar perang macam apa yang saya tantang dan sekejam apa ranah yang nekat saya selami. Program super intensif di bimbingan belajar saya dimulai 2 hari setelah Ujian Nasional berakhir. Saya masuk pukul 8 sampai pukul 11, setelah kelas selesai saya tidak langsung pulang melainkan tetap berada di bimbingan belajar bersama teman-teman lain sampai waktu Isya. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk terus mengejar target harian saya mengerjakan Problem Set dari bimbingan belajar. Setiap seminggu sekali saya ikut try out, namun dari puluhan try out yang pernah saya ikuti tidak pernah sekali pun saya mencapai passing grade FKUI. Saya terus menyusun strategi meningkatkan prestasi saya dengan cara tidak malu bertanya kepada guru atau teman yang lebih pintar. Mencoba beragam soal menggunakan waktu lalu mengevaluasi hasilnya. Membuat daftar prioritas belajar dan menggunakan waktu seefektif mungkin. Waktu adalah hal yang begitu berharga pada masa itu, 5 menit saya mengobrol sama saja dengan waktu saya mengerjakan satu soal. Saya pun mulai menekankan disiplin waktu kepada diri saya. Selain itu saya pun sadar bahwa sekeras apapun manusia berusaha ada hal lain yang lebih penting, yaitu ibadah. Saya pun menyusun target ibadah harian dan berusaha kerasa mematuhi target yang saya buat tersebut.
Satu hari sebelum pengumuman SNMPTN saya mendaftar SBMPTN karena saya sudah tahu sejak awal warna apa yang akan ada di pengumuman tersebut. Keesokan harinya, saya menolak langsung membuka dan memilih tetap fokus belajar. Banyak teman saya yang menerima kabar bahagia dan saya turut senang, banyak pula yang rezekinya masih tertunda. Dini hari, saya memberanikan diri membuka pengumuman SNMPTN dan seperti yang selalu saya bayangkan, warnanya merah.   
Tujuh minggu super intensif SBMPTN kembali menjadi masa pendewasaan bagi saya, rasa jenuh dan suntuk terus menghampiri di setiap harinya. Tidak jarang pula orang lain menatap tidak percaya tentang mimpi saya. Tujuh minggu yang menekan saya karena taruhannya adalah masa depan. Akan tetapi, dalam masa-masa seperti itu peran teman-teman sangat terasa dan saya sadar, momen ini adalah waktu yang tepat untuk saling menyemangati dan memberikan dukungan. Mencari teman seperjuangan adahal hal yang teramat penting.  
Sampai akhirnya waktu berperang itu tiba. Saya berusaha mengerjakan soal setenang mungkin sambil terus berdoa agar diberi kemudahan. Setelah selesai, rasanya ada beban teramat berat yang akhirnya terangkat, saya pun kembali bernapas lega dan pulang ke rumah.
Saya menolak membahas soal dengan siapapun karena itu hanya akan membuat pikiran saya tertekan. Namun selain ikut program superintensif SBMPTN saya juga mengikuti program superintensif SIMAK UI di bimbingan belajar sehingga setelah selesai SBMPTN saya tetap harus datang, sementara di bimbingan belajar pasti ada yang membahas soal. Alhasil, setelah tidak sengaja mendengar pembahasan soal Fisika, tiba-tiba kepala saya teramat pusing lalu saya terjatuh. Akhirnya saya izin meninggalkan kelas dan pergi ke dokter. Dan jawaban dokter adalah, saya stress dan butuh istirahat.
Alhasil, saya tidak mempersiapkan apapun untuk SIMAK UI. Hanya bermodalkan persiapan SBMPTN dan kelas intensif SIMAK, jujur saja saya mengerjakan soal lebih tenang dibandingkan saat SBMPTN, tidak merasa ada beban apa-apa. Setelah ujian SIMAK selesai, saya tahu perang saya sudah usai dan yang saya bisa lakukan hanya berdoa. Karena manusia punya kesempatan lebih banyak dalam berdoa dibandingkan belajar, sebelum dan sesudah kertas itu dikumpulkan sehingga perbandingannya adalah 2:1.
Ada yang pernah bilang, persiapan SBMPTN adalah tiga minggu tercepat hidup sementara pengumuman SBMPTN adalah tiga minggu terlama. Semenjak tiga hari sebelum pengumuman, perasaan saya sudah gelisah tidak karuan, seringkali saya tiba-tiba menangis. Rasa takut bisa menyergap saya kapan saja sebelum saya sadari. Sampai akhirnya tanggal 28 Juni tiba. Orang tua saya sangat antusias menunggu sementara saya berniat membuka pengumuman setelah buka puasa saja, namun tepat pukul 2 orang tua saya memaksa untuk langsung membuka. Sebelumnya, saya menyempatkan diri berdoa meminta keikhlasan apapun hasilnya nanti. Web resmi pengumuman SBMPTN tidak bisa dibuka akhirnya saya beralih pada web mirror UGM, setelah memasukkan data diri dan kode hasilnya pun terpampang jelas. Tidak ada kata selamat di layar. Sekujur tubuh saya mendadak kaku, di hadapan saya hanya ada kata “Maaf, Anda tidak lolos SBMPTN, Jangan putus asa dan tetap semangat!” Berulang kali saya coba refresh halaman web tersebut, hasilnya tetap sama. Namun, saya pernah mendengar cerita tentang seseorang yang dinyatakan tidak lulus tetapi ternyata itu adalah kesalahan situs dan beliau tetap lulus di FKUI. Betapa bodohnya saya menganggap saya pun begitu. Sampai akhirnya saya buka langsung di web pengumuman SBMPTN jam 5 sore. Tidak ada kalimat yang berubah. Kenyataannya saya ditolak tiga universitas. Dan nama saya belum terdaftar sebagai mahasiswa dimana pun. Minggu-minggu yang saya habiskan di depan buku-buku terasa sia-sia. Saya belum cukup pantas.
Orang tua saya kaget bukan main, jelas tergambar kekecewaan mereka. Saya sendiri bingung harus berbuat apa dan memilih mengurung diri di dalam kamar. Semua pesan dari teman-teman tidak saya balas satu pun. Lalu saya mencoba berdiskusi dengan orang tua langkah selanjutnya, masih banyak jalur mandiri universitas lain. Namun, orang tua saya tidak mengizinkan saya berkuliah di timur Pulau Jawa. Ibu saya menyarankan untuk mendaftar universitas swasta namun jurusannya bukan kedokteran. Jujur saja, sudah terlalu lelah rasanya kalau saya harus ikut ujian lagi. Malam itu, pelan-pelan saya mengikhlaskan keinginan saya menjadi dokter.
Keesokan harinya saya terbangun dalam kondisi mata bengkak, saya sudah mencari informasi tentang pendaftaran universitas di Jakarta dan Sumatera. Kemudian Ayah saya bertanya tentang pengumuman UTM IPB yang sempat saya ikuti. Pukul 5 sore, saya membuka pengumuman UTM IPB. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus di jurusan Ilmu Gizi. Orang tua saya langsung memeluk dan menangis bahagia. Akhirnya, saya tidak perlu ikut ujian lagi. Saya sangat senang dan bersyukur. Namun hati kecil saya tahu, bukan itu yang saya inginkan. Saya merasa linglung dan hilang arah.
Saya tidak berharap sama sekali dengan hasil SIMAK karena saat mengerjakan saya benar-benar mengerjakan seadanya saja. Dalam pikiran saya, mungkin SIMAK saya diterima cukup di pilihan tiga saja.
Tapi, lagi-lagi mekanisme takdir memiliki kejutannya sendiri. Jam 4 sore saya terbangun oleh sebuah telepon dari sahabat saya, Astrid. Dia awalnya bertanya tentang hasil pengumuman namun saya masih tidak tahu karena belum saya buka. Dan kabar bahagia itu sampai, saya diterima. Dengan perasaan campur aduk akhirnya saya buka sendiri pengumuman SIMAK dan ternyata benar. Kali ini, ucapan selamat terpampang jelas di layar. Jurusan yang ditampilkan bukan pilihan kedua, ketiga, keempat atau kelima. Namun pilihan pertama. Saya langsung menangis dan bersujud, mengucap syukur berkali-kali.
Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya akan seperti ini jalannya, saya harus terjatuh dulu, meraung-raung di dalam kamar, dibelok-belokkan ke arah lain, sampai pada akhirnya saya ditempatkan di tempat yang insya Allah, paling baik untuk saya. Tempat dimana doa-doa saya bermuara.
Orang tua saya tentu sangat senang dan bangga karena akhirnya saya bisa mewujudkan cita-cita Ibu yang belum tercapai, mereka menaruh harapan tinggi agar saya bisa menjalankan amanah ini sebaik-baiknya. Betapa saya harus banyak bersyukur karena banyak sekali orang di luar sana yang memiliki keinginan menjadi dokter namun belum mendapat kesempatan. Saya sendiri selalu bertekad untuk meluruskan niat, mengevaluasi diri sendiri dan selalu mengingat betapa beratnya perjuangan yang harus ditempuh untuk sampai disini. Karena menjadi dokter berarti mengabdikan separuh hidup kita untuk orang lain.
Satu hal yang amat saya syukuri adalah saya memiliki kesempatan bersekolah di SMA Negeri 1 Bogor, terlebih ditempa serta dipupuk dalam organisasinya. Tempat itu selalu mengajarkan saya kekuatan bermimpi dan menguatkan dalam proses mewujudkannya, “Tidak ada mimpi yang terlalu besar dan tidak ada pemimpi yang terlalu kecil.” Sekolah disana dan menjalani proses kaderisasinya merupakan titik balik yang terlampau hebat bagi saya.
Saya selalu yakin, setiap kita mengalami sebuah kegagalan maka rezeki kita sedang ditabung untuk hadiah yang lebih besar. Jadi, jangan pernah takut bermimpi dan jangan takut gagal. Kejar. Fight and Win; jargon yang akan selalu saya pegang. Bukan satu dua orang yang meragukan saya, bukan satu dua kali saya harus jatuh bangun mempertanyakan mimpi.
Pada akhirnya, semesta menyiapkan hadiah terbaik untuk saya. Saya menjadi bagian dari FKUI 2016. Alhamdulillah.

Komentar

Posting Komentar