[Perjalanan Menuju FKUI] Haifa Mayang Lestari

Hai!! ☺ Nama saya Haifa Mayang Lestari. Saya lahir di Bandung, 7 Mei 2000. Saya biasa dipanggil Haifa. Sekarang, alhamdulillah saya baru saja diterima di FKUI 2016 yang saya impikan. Jujur saja, tulisan-tulisan seperti ini adalah salah satu faktor saya bisa diterima disini hehe. Saya harap tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Selamat membaca!
Awal mula saya memutuskan untuk masuk FK adalah ketika saya masih berumur empat tahun. Hanya saja waktu itu saya ingin masuk FK ITB, yang tentunya hanya ada di imajinasi anak-anak, karena tanteku, yang salah satu idolaku, adalah alumni kampus ITB.
Sepanjang enam belas tahun saya hidup, saya tidak pernah terpikirkan untuk menjadi profesi lain selain dokter. Yang ada di hati saya sejak dulu hanyalah menjadi dokter. Saya baru mengetahui UI setelah mamaku bercerita bahwa kedokteran paling bagus di Indonesia ada di Universitas Indonesia. Sejak saat itu, tepatnya saat saya masih menginjak Sekolah Dasar, saya dengan mantap menjawab bahwa saya ingin masuk kesana, padahal saya tidak tahu apa-apa bagaimana sulitnya masuk kesana.
Saya mulai ragu masuk UI saat kelas sebilan SMP, dimana saya sudah mulai mengetahui bahwa untuk bisa masuk FKUI adalah sesuatu yang sangat sulit, mulai saat itu saya mencoba untuk tidak menekan diri saya lebih jauh dan berganti haluan menjadi FK Unpad yang padahal sama-sama sulit.
Awal masuk SMA, saya merasa sangat minder dengan kemampuan akademis saya. Pasalnya, saya masuk kelas akselerasi dimana anak-anaknya adalah anak-anak yang memiliki ambisi yang lebih dari keras dalam belajar. Keadaan bertambah buruk ketika peringkat saya berada di dua peringkat terbawah di kelas. Tapi semua itu memang berasal dari diri saya sendiri yang malas, tidak peduli dengan ulangan walaupun itu berarti 0, tidur saat pelajaran dan selalu menjadi pengumpul tugas kedua teakhir di kelas. Kelebihan saya hanya senang merangkum biologi walaupun nilainya tidak mencerminkan kesenangan saya sama sekali. Remed itu rutinitas.
Tahun 2015, saya mengikuti NMGBC. Dan saat itulah saya mulai tergiur kembali masuk FKUI. Dimulai dari lorong-lorong gedung RIK yang sangat mencerminkan rumah sakit, kelasnya yang nyaman, sampai Crystal Knowledge Universitas Indonesia akhirnya mampu memutar haluan saya. Saat itu, tanpa modal apa-apa, saya memberanikan diri bermimpi menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saya akhirnya memfiksasi diri untuk masuk FKUI 2016 dengan menulis wall of dream bertuliskan keketatan FKUI lewat jalur SBMPTN yaitu “1,86%” di dinding ruang belajar saya. Yang jelas, saat itu saya benar-benar saklek harus FKUI, tidak bisa diganti apa-apa lagi, tidak lulus SNMPTN tidak apa-apa, toh masih ada jalur SBMPTN, tapi saat itu saya pantangan SIMAK karena berhembus kabar bahwa UM harganya jauh lebih mahal.
Meskipun begitu, kemauan itu masih belum bisa merubah sikap pemalas saya. Hingga akhirnya, guru kimia yang terkenal dengan kekillerannya di sekolah saya pun diputuskan untuk mengajar di kelas kami hingga kami lulus. Itu pertama kalinya saya takut oleh guru semenjak saya masuk SMA. Guru itu adalah guru pertama yang membuat saya mau tambahan sampai malam di bimbel padahal tidak ada ulangan keesokan harinya, hanya agar saat saya dipanggil mengerjakan soal di depan, saya bisa. Ulangannya pula yang membuat mata saya terbuka, bahwa saya tidak bodoh, saya hanya belum berbuat apa-apa untuk mendapatkan sesuatu yang pantas didapat oleh murid-murid yang benar-benar berusaha. Saat itu ulangan saya mencapai nilai 90. Dimana teman-teman saya sendiri merasa kaget dan berkata “Parah banget kan nilai saya masa di bawah Haifa”. Walaupun bukan nomor satu, tapi mulai dari saat itu saya mulai memutuskan untuk taubat dalam hal akademis.
Prinsip belajar saya adalah “menjadi yang paling baik di antara pesaing-pesaing saya” umpamanya, jika pesaing masuk FKUI 2016 adalah 4000, dan yang diterima hanya 36, maka do’a dan usaha saya harus masuk 36 besar. Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi yang terpintar, karena saya yakin bahwa Allah tidak akan berdiam diri melihat usaha hambaNya yang bersusah payah dan tidak ada bosannya meminta kepadaNya.
Jika anak yang nantinya lolos FKUI dhuha hanya empat rakaat, maka saya delapan rakaat. Jika anak yang nantinya lolos FKUI pulang bimbel jam delapan, karena saya tidak bisa belajar lagi di rumah, maka saya harus pulang paling terakhir (walaupun hanya sekali dalam sebulan). Setidaknya usaha saya harus lebih keras dari yang lain karena berbagai keterbatasan saya dalam hal akademik dan ketertinggalan saya.
Masalah sebenarnya mulai datang saat ranking paralel keluar. Saya cukup tercengang melihat ranking saya yang masuk sepuluh besar kelas, dan di angkatan, (karena sekolah saya langganan ITB) cukup untuk memilih jurusan mana saja kecuali FSRD ITB. Dan itulah yang membuat ayah saya tergiur. Bujukan demi bujukan yang akhirnya saya tangkap sebagai paksaan selalu dikumandangkannya setiap bertemu dengan saya. Awalnya saya bebal, awalnya saya melawan, tapi lama-lama saya sadar diri bahwa saya tidak ada hak untuk melawannya semenyebalkan apapun beliau, karena beliau yang membesarkan saya, dan beliau pasti ingin yang terbaik untuk saya, dan terutama saya takut masa depan saya penuh hambatan karena tidak patuh kepadanya. Karena frustasi, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan fingerprint, dan hasilnya malah mebuat saya lebih frustasi, karena saya disarankan masuk hubungan internasional.
Saya kira akan menyerah, ayah saja malah semakin menjadi-jadi membujuk saya agar masuk ITB. Dan saya malah semakin bingung untuk memilih, karena saya tidak pernah tahu saya ingin menjadi apa selain menjadi dokter. Akhirnya saya melakukan istikharah dari hari ke hari, tapi hati saya belum bulat juga. Sampai hari-H untuk memasukan undangan, saya masih belum tahu. Saat itu pukul dua pagi, setelah shalat malam, saya memutuskan walaupun dengan banyak keraguan untuk memilih Farmasi ITB karena menurut saya farmasi adalah jurusan yang paling dekat dengan pendidikan dokter. Bukannya mendingan, masalah malah semakin runyam karena ayah saya tidak setuju tanpa alasan.
Lima menit sebelum saya masukan tujuan saya, ayah saya bilang untuk masuk FTSL ITB saja. Karena saya bingung, saya tanya ibu saya, dan beliau setuju. Akhirnya tanpa berpikir panjang, saya memutuskan untuk daftar FTSL ITB dengan pikiran “selama nurut kepada orang tua, semua pasti akan baik-baik saja, dan saya akan lulus dengan baik pula”.
Lepas beberapa hari dari situ, saya masih melakukan istikharah dan shalat, untuk mengobati luka hati saya yang sebenarnya ingin sekali masuk FK, entahlah itu FK apapun, saat itu saya sudah tidak peduli FKUI atau bukan lagi. Saya mulai sadar dengan keputusan saya yang tanpa pikir panjang, dan bahwa jurusan itu akan saya geluti sisa hidup saya. Saya hampir gila, setiap shalat, saya berdo’a agar tidak diterima, puncak perjuangan saya adalah dengan menjatuhkan nilai UN fisika dengan cara tidak belajar sama sekali. Tapi, semua itu sia-sia, saya tetap diterima. Saat itu saya mulai menerima kenyataan, bahwa tidak ada FKUI bagi saya, dan saya mulai meyakinkan diri bahwa saya mampu mencobanya terlebih dahulu, dan itu pasti yang terbaik dari Allah untuk saya. Walaupun akhirnya saya mulai mencari-cari kabar tentang SIMAK untuk menghabiskan rasa penasaran saya, dan untuk latihan tahun depan pikir saya.
Sampai suatu hari, saat psikotes ITB, terdapat kolom cita-cita yang harus saya isi. Untuk pertama kalinya saya bingung mengisi apa, karena biasanya saya mengisi cita-cita saya adalah dokter. Mungkin pihak mereka akan berpikir saya gila jika saya mengisi , jadi saya kosongkan kolom tersebut. Hari demi hari, bukannya membuat saya yakin, saya semakin ragu untuk bisa berlanjut di ITB, saya mengingat nilai UN fisika saya, kemampuan saya dalam fisika, dan keinginan saya untuk menjadi seorang dokter. Samapi suatu malam, saya sempat menangis dan mengamuk frustasi karena merasa tidak mampu untuk melanjutkannya lagi. Saat itulah ayah saya mulai luluh.
Setelah ayah saya luluh dan mulai mendukung saya, saya mulai lagi belajar gila-gilaan. Saya tidak belajar fisika sama sekali, karena saya merasa tidak mampu. Saya perdalam kimia setiap babnya dengan mengerjakan 1700 Bank Soal, dan saya pelajari matematika yang saya tidak mengerti saja dengan mengerjakan soal-soal SBMPTN tahun lalu tentang bab tersebut. Waktu itu H-14 SIMAK, saya sangat merasa jauh tertinggal dan hanya berharap pada harapan kosong dimana keketatan SIMAK adalah 0,96%. Saya tidak peduli, yang jelas saya harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Untuk bahasa inggris dan bahasa indonesia, saya merangkum buku bimbel saya, dan membacanya setiap hari sekali. Untuk perluasan kosa kata bahasa inggris, saya baca satu artikel New York Times setiap hari dan menulis kosa kata yang saya tidak tahu apa artinya. Dan untuk biologi, saya berpikir untuk membaca rangkuman saya dari kelas sepuluh H-3, tapi nyatanya tidak dapat dilakukan.
Saya mulai mengerjakan soal SIMAK secara serius itu H-7. Disitu saya benar-benar bingung karena sempitnya waktu, jadi saya memutuskan untuk memperdalam matematika dan tidak memedulikan fisika sama sekali. Tapi akhirnya, 7 hari sama sekali tidak cukup untuk membahas seluruh soal SIMAK matematika yang ada. H-1, saya begadang sampai jam 3 pagi untuk membaca rangkuman biologi kelas 12 saja dari bimbel saya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidur dengan pasrah dan tentu saja penuh rasa penyesalan karena terlalu banyak membuang waktu.
Pukul 5 pagi saya bangun, saya mulai bersiap dan pergi ke lokasi ujian. Sebelumnya meminta do’a restu ibu saya, karena tanpa do’anya, saya bukan apa-apa. Akhirnya tibalah saya di lokasi ujian. Saya memutuskan untuk tilawah sambil menunggu ujian dimulai.
Ujian pun dimulai. Lembar soalnya sangat jauh dari perkiraan saya. Lembarnya mirip seperti fotokopian yang membuat saya mulai was-was. Ditambah lagi saya harus merobek halaman LJK dengan penggaris tanpa bantuan dimana saya harus merobek, dan juga kondisi meja yang buruk dan peraturan yang menyatakan untuk tidak memakai papan dada. Saya membuang segala pikiran buruk saya, dan mulai mengerjakan.
Ujian pertama adalah saintek. Saat saya membuka soal, saya sangat kaget. Pasalnya, kualitas soal benar-benar menurun sangat jauh dari soal-soal SIMAK tahun-tahun sebelumnya. Itu berarti, saya harus mendapatkan nilai yang sangat tinggi, karena banyak peserta yang bisa mengerjakannya. Saya mulai mengerjakan seluruh soalnya, tanpa melihat bagian fisika karena saya tidak belajar fisika sama sekali. Sudah hasil bolak balik, waktu tinggal tersisa sekitar 30 menit, saya hanya mampu mengisi 28 butir soal. Akhirnya saya mencoba melihat soal fisika. Mata saya terbelalak, karena saya tahu cara mengerjakannya. Tapi saya tidak ingat sama sekali rumusnya.
Sekitar lima belas menit saya berusaha mengingat rumus dengan mencoba-coba memasukan angka-angkanya sambil berdo’a. Tapi sayangnya rumus tersebut salah dan hanya seperti sayup-sayup memori di kepala saya. Jadi, saya benar-benar mengosongkan soal fisika. Akhirnya saya hanya menghabiskan waktu dengan membaca-baca soal kembali dan mengecek lagi jawaban yang saya jawab. Saat itulah hal menyebalkan terjadi, saya melihat sedikit noda pada kertas LJK saya yang tipis. Lalu saya menghapusnya tanpa pikir panjang lagi. Karena mejanya yang tidak rata, kertas tersebut terlipat dan menjadi kusut. Saya sangat panik. Awalnya saya berniat meminta lagi LJK, tapi saya baru ingat bahwa jika saya mengganti LJK, berarti saya mengganti soal juga. Ahirnya saya mencoba menenangkan diri dan tetap berusaha mengecek soal sambil mengusir pikiran-pikiran negatif saya.
Lima menit sebelum soal selesai, saya memberanikan diri untuk melihat kanan kiri saya. Membuat mental saya turun, teman-teman sekeliling saya mengisi lembar jawabannya hampir penuh. Saya akhirnya hanya berdoa dan saat bel berbunyi, saya keluar kelas.
Saat istirahat, sekitar saya ribut dengan soal SIMAK yang sangat mudah. Saya hanya bisa pasrah. Bertemu teman, bukannya membaik, malah membuat mental saya semakin down. Saya mengisi paling sedikit di antara mereka semua. Belum lagi LJK saya yang... sangat kusut perasaan saya kala itu.
Bel sesi dua pun berbunyi. Saya bertekad untuk mengisi semua soal kali ini kecuali matematika dasar. Waktu itu, yang ada di pikiran saya hanyalah agar menjadi titik usah terakhir saya. Karena, bagaimana saya bisa masuk jika teman-teman saya mengisi jauh terlalu banyak?
Soal demi soal saya kerjakan. Saya isi semuanya, walaupun saya ragu. Dan saat matematika dasar, saya cari berbagai cara agar menemukan jawaban yang mirip dengan option. Akhirnya, sampai detik terakhir ujian, saya berhasil tidak mengisi empat soal.
Selesai ujian, jujur saja mental saya benar-benar down. Saya dan teman-teman saya yang sama-sama mengikuti SIMAK memutuskan untuk makan terlebih dahulu sambil berbincang tentang soal yang baru saja kami kerjakan. Bukannya membaik, mental saya semakin down. Saya tetap menjadi pengisi soal terkecil di antara mereka. Bahkan, sahabat saya pun, yang biasanya optimis terhadap saya, dan memang tebakannya selalu benar, berkata terhadap saya jangan terlalu berharap. Disitu saya mulai belajar menyiapkan mental saya. Belajar mebayangkan sekolah setahun di ITB, belajar membayangkan kerja keras saya kemarin harus diulang lagi setahun, belajar membayangkan bertemu lagi dengan teman seangkatan saya, atau mungkin tidak, atau mungkin menjadi bagian dari FKUI memang tidak akan pernah dalam kamus hidup saya.
Menunggu pengumuman bukanlah hal yang menyenangkan. Ibaratnya seperti “PDKT tiga tahun, nembak tiga jam, digantungin satu bulan, hasilnya masih belum jelas”. Saya mengisi hari-hari saya dengan berdo’a dan beribadah, apalagi waktu itu sedang ramadhan. Tapi saya masih terus belajar menyiapkan mental saya. Karena saya tidak mau seperti kakak kelas saya, ada yang sempat ke psikiater segala karena tidak tembus PTN yang diinginkan. Setiap bertemu dengan orang yang saya kenal, mungkin ini konyol, tapi saya selalu minta dido’akan agar bisa diterima di FKUI tahun ini. Sampai password web SIMAK pun, saa ubah dengan kata-kata do’a. Walaupun saya tidak yakin, tapi omongan itu tetap do’a. Jadi saya tidak berani berkata hal yang negatif.
Saat pengumuman SBMPTN, banyak sekali kabar positif dan negatif. Siswa dari sekolah saya yang berhasil tembus FKUI ada tiga orang. Saya merasa senang akan mereka, tapi saya juga sedih karena saya belum seberuntung mereka. Grup Line benar-benar ribut dengan hasil SBMPTN. Ada yang membisu, ada yang heboh dan menscreenshot hasilnya, ada yang mengucapkan selamat. Saya takut lima hari kedepan, saya akan menjadi bagian dari orang-orang yang membisu.
H-1 pengumuman, saya perbanyak ibadah saya. Tiba-tiba sahabat saya waktu SMP mengirimi saya pesan di line dan bertanya kapan pengumumannya. Saya berkata dua hari lagi, karena pagi saya baru cek. Lalu dia mengirim screenshot pemberitahuan bahwa pengumuman tersebut dimajukan. Awalnya saya tidak percaya, jadi saya cek sendiri. Dan ternyata benar, pengumuman dimajukan. Seketika saya panik dan tidak siap. Beberapa jam kemudian social media dan teman-teman saya pun heboh dengan pengumuman SIMAK yang dimajukan. Teman-teman saya bilang tidak berharap, itu membuat saya kesal. Pasalnya mereka saja yang mengisi jauh lebih banyak dari saya, tidak berharap, saya yang sedikit, masih sulit untuk tidak menaruh harapan di ujian kali ini.
Esoknya, nenek saya sengaja datang untuk menemani saya membuka pengumuman, kebetulan beliau sedang berada di Bandung. Mungkin beliau takut saya belum siap dengan mental saya. J-2, saya mengirimi teman-teman saya pesan untuk minta do’anya. Saya tidak peduli walaupun sebenarnya UI pasti sudah punya calon-calonnya kala itu. Saya tidak peduli jika saat itu nama saya tidak tercantum di antara nama-nama yang diterima, saya juga tidak peduli dengan jumlah soal yang saya isi atau yang salah, saya tidak peduli dengan LJK saya yang kusut, atau teman-teman saya yang jauh lebih pintar sama-sama mengikuti ujian ini, karena saya yakin, saat itu do’a masih bekerja.
J-1 saya hanya tilawah dan membaca ayat kursi. Nenek saya mengajak saya berbicara sekali-kali. Tapi saya terlalu gugup. Tangan saya dingin kala itu. Saya yakin saya tidak akan bisa membuka hasil pengumumannya. Saya memutuskan agar ibu saya saja yang membuka hasilnya.
Pukul dua tepat, walaupun saya belum siap untuk membuka hasilnya, saya menyudahkan tilawah saya, dan menuju dapur untuk memberitahu ibu saya agar membuka pengumumannya. Saya, ibu, dan nenek pun berkumpul di ruang keluarga. Saya berkata, “Ma, maafin eneng ya kalau belum keterima”.
Lalu ibu saya berkata. “Kok minta maaf, ITB juga sudah sangat bagus. Mama takut sama eneng nya yang belum siap mental. Mama mau buka, tapi harus siap mental dulu”. Jadi saya berkata saya sudah siap. Walaupun sama sekali tidak. Saya menyerahkan handphone saya, yang sudah masuk ke webnya sejak tadi pagi, jadi hanya tinggal mereload.
Saya hanya bisa menutup mata saat ibu saya menekan tombol reload. Tapi tidak ada suara apa-apa entah itu pekikan atau tangisan. Sampai ibu saya berkata, “Webnya traffic neng. Kayanya penuh banget”. Nenek saya menghembuskan nafasnya, mungkin beliau juga sama-sama gugup.
Kami pun memutuskan untuk menunggu beberapa saat. Ibu saya masih sibuk dengan handphonenya, saya pikir mungkin beliau sedang mengecek whatsapp atau hal lainnya. Saya hanya mengobrol ringan dengan nenek saya. Sampai tiba-tiba ibunya saya berteriak, “Hah! Keterima!” Neneka saya beranjak dari tempat duduknya dan langsung menyerbu ibu saya. Saya masih menahan diri, karena saya takut saya diterima di pilihan duanya.
“Pendidikan dokter ma?”
“Pendidikan dokter!”
Saya melihat tulisan di layar handphone dengan seksama saat nenek dan mama saya sedang melompat-lompat sambil menangis bahagia. Dan benar, tulisannya adalah “Selamat, anda diterima sebagai calon mahasiswa baru Universitas Indonesia. Program studi pendidikan dokter”. Saya pun ikut bahagia dan hanya bisa menangis tidak percaya.
Rasanya sepeti apa? Rasanya seperti mimpi. Saya benar-benar bersyukur kepada Allah karena bisa menjadi bagian 0,96% tersebut. Saya sama sekali tidak bisa membayangkan, jika saya berada di bagian lawannya, mungkin saya tidak sedang menulis essay ini sebagai tugas PSAF FKUI sekarang.
Saya berharap, mudah-mudahan saya bisa menjadi dokter yang bermanfaat bagi keluarga, teman-teman saya, FKUI, seta tentu saja negara dan bangsa. Juga, mudah-mudahan saya bisa menjadi dokter kandungan yang menolong tanpa pamrih, dan banyak tersenyum serta terlihat ramah pada pasiennya. Dan juga, mudah-mudahan saya bisa menjadi mahasiswa yang bermanfaat dan dapat membawa nama FKUI ke arah yang lebih baik. Aamiin.

“Nothing impossible if Allah says Kun Faya Kun!”

Komentar