Perkenalkan, nama saya Khairunnisa Farina Ilato. Saya adalah alumni dari sebuah SMA di provinsi terpencil di Indonesia bagian timur, sebut saja nama SMA-nya adalah MAN Insan Cendekia Gorontalo. Sekolah saya bukan sekolah yang biasa. Hanya sekitar 20 orang dari total 120 anak angkatan saya yang merupakan pribumi. Sisanya? Dari Mandailing Natal, Tulungagung, Lombok, hingga Papua pun ada.
Menyadari hal itu, saya merasa kecil. Bagaimana tidak, teman-teman saya yang masih sepantaran dengan saya itu sudah berani merantau ke tanah orang demi mengejar ilmu pengetahuan. Hati kecil saya membanding-bandingkan mereka dengan diri saya sendiri. Saya yang sejak Taman Kanak-kanak, SD, SMP, hingga SMA masih saja bersekolah di tanah kelahiran saya, sangat cetek bila dibandingkan dengan mereka-mereka itu. Oleh karena itulah, di penghunjung tahun senior saya di SMA, saya membuat sebuah keputusan; merantau.
Awalnya niat ini belum sempurna. Saat pengisian data untuk SNMPTN dimulai, saya hanya memilih Fakultas Kedokteran sebuah universitas yang letaknya tidak terlalu jauh dengan Gorontalo. ‘Biar bisa sering pulang,’ pikir saya. Ketika itu, belum ada keinginan sama sekali untuk masuk Universitas Indonesia. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa belum ada satupun kakak-kakak kelas saya yang tembus Fakultas Kedokteran UI. Perlahan-lahan, saya mulai membentuk pemikiran bahwa FK UI adalah Fakultas yang terlalu elit untuk dimasuki oleh anak dari daerah terpencil seperti saya. Bahasa singkatnya: minder.
Bermodalkan sertifikat lomba tingkat nasional yang pernah saya ikuti semasa SMA, saya menghadapi masa-masa penantian pengumuman SNMPTN dengan keyakinan hampir 95% akan diterima. Bimbingan SBMPTN yang difasilitasi oleh sekolah saya pun saya ikuti dengan asal-asalan karena sudah optimis akan lulus. Ditambah lagi statistik tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa paling tidak akan ada 1 orang dari sekolah saya yang akan diterima di Fakultas Kedokteran universitas tersebut melalui jalur SNMPTN.
Tapi takdir berkata lain. Entah sial atau apa, tidak ada satupun siswa dari angkatan saya yang lolos Fakultas Kedokteran di universitas manapun. Ketika itu, langit serasa akan runtuh ke kepala saya. Saya tidak siap menghadapi SBMPTN yang tinggal sebulan lagi.
Saya mulai panik. Saking sakit hatinya dengan universitas yang menolak saya di SNMPTN itu, saya berjanji dalam hati tidak akan memilih universitas itu lagi di SBMPTN. Untuk sekali saja, saya ingin merasakan, ‘nyesel lu udah nolak gue’. Yaaah, meskipun itu tidak akan berarti apa-apa bagi universitas tersebut, tapi setidaknya ada sedikit kepuasan batin bagi saya. Akhirnya, dengan modal nekat dan sakit hati, saya mengetikkan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di pilihan pertama SBMPTN. Pilihan yang terdengar ‘angker’ bagi siswa-siswi sekolah saya. Guru bimbingan konseling sampai capek menghasut saya untuk mengubah pilihan tersebut dengan alasan statistik tahun-tahun sebelumnya yang bukan hanya kurang bagus, namun memang tidak ada sama sekali. Tapi saya terlanjur sakit hati, hahaha. Sekali memutuskan merantau, saya tak ingin tanggung-tanggung lagi seperti kemarin.
Perjuangan dimulai tepat sebulan sebelum SBMPTN. Ikut bimbel sampai malam. Sikat habis soal-soal SBMPTN. Tryout berkali-kali hingga hampir mampus melihat result yang stagnan. Doa yang tak berhenti. Airmata yang terkadang sudah tak sanggup saya tahan saking tak kuatnya menghitung integral dan diferensial di tengah malam. Di sisi lain, saya ikut sedih melihat orangtua yang memberikan support secara maksimal kepada saya. Disaat mereka bekerja membiayai bimbel SBMPTN yang mahalnya luar biasa, saya hampir putus asa.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia terkenal dengan passing grade-nya yang alamak tingginya. Saya? Apalah daya saya yang dari lima kali tryout, tak satupun berhasil menyentuh passing grade FKUI. Paling tinggi selisih 8 poin. Itupun malam sebelum tryout saya nyaris ngesot keliling kamar karena gemas dengan soal limit trigonometri yang tak kunjung bisa saya pecahkan. Hari-hari berlalu, semuanya masih sama saja. Hasil TO stagnan. Semangat semakin surut. Ketika itu saya sempat menyesali pilihan SBMPTN saya. ‘mengapa saya tidak memilih FK universitas yang saya pilih waktu SNMPTN kemarin karena passing grade-nya lebih rendah’. Tapi mau bagaimana lagi.
Hari-H SBMPTN tiba. Saya kembali melakukan trik yang saya pelajari sejak SMA; datang, kerjakan, lupakan. Bodo amat dengan quick count. Bodo amat dengan kunci jawaban. Sekarang waktunya tawakal. Dan Alhamdulillah, tepat sebulan kemudian, perjuangan nyaris mampus itu tidak sia-sia. 28 Juni 2016 pukul 15.00 WITA, saya dinyatakan berhasil lolos Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Senang? Ya, tentu. Hanya orang bodoh yang tidak senang masuk FKUI. Saya sudah bisa tersenyum lebar saat keluarga jauh datang berkunjung saat lebaran dan bertanya, “Mau kuliah dimana?”. Jelas, kalimat setelah itu pasti mengundang decak kagum yang mendengar. “Alhamdulillah FK UI.”
Itu baru perkenalan, pandangan, dan usaha saya masuk FK UI. Tips? Jawaban anak-anak yang lolos saat ditanyai apa tipsnya pada umumnya sama, “Ah, gue mah hoki doang,”. Ya, bagaimana caranya bisa lolos memang sangat sulit untuk dijabarkan. Bukan bermaksud sombong, namun saya juga masih bingung kenapa bisa inklud dalam 72 orang yang lolos SBMPTN di antara sekitar 4000-an anak cerdas seluruh Indonesia. Sebut saya religius, tapi saya rasa tips yang paling ampuh adalah doa.
Setelah daftar ulang dan dapat KTM (yeay!), banyak rangkaian acara yang harus terlebih dahulu diikuti sebelum resmi menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. OKK, OBM, PSAU, PSAF, latihan padus, serta serentetan program orientasi lainnya. Berani bolos? Ucapkan selamat tinggal pada jakunmu untuk satu semester ke depan ^_^. Capek memang. Letih. Jauh dari rumah. Di saat teman-teman yang lain membuka kotak bekal makan siang bikinan mama saat istirahat OBM, beberapa orang terpaksa jalan ke kantin atau warung makan demi menenangkan cacing konser. Namun hal ini menjadi semacam harapan baru bagi saya. Harapan agar lebih mandiri. Agar lebih teratur dalam hidup. Agar lebih terorganisir, baik perilaku maupun pola pikirnya.
Mau tidak mau, saya harus mengakui bahwa saya adalah calon dokter. Mahasiswi Fakultas Kedokteran UI. Sudah bukan anak SMA lagi. Sudah bukan remaja labil yang kerjaannya main socmed terus. Maka, saya sangat berharap bahwa apa yang akan saya lakukan, apa yang akan saya pelajari, dan apa yang akan saya lalui selama menjadi mahasiswi FK UI dapat membuat saya lebih baik lagi. Lebih tegar lagi. Lebih menjadi Homo sapiens (fyi, arti dari Homo sapiens adalah ‘makhluk yang bijaksana). Euforia yang saya rasakan saat pertama kali dinyatakan lolos mungkin tidak terasa lagi. Namun rasa itu tergantikan dengan rasa yang menurut saya jauh lebih penting, rasa tanggung jawab seorang pelajar.
Dukungan yang tidak pernah surut tentu terus mengalir dari keluarga dan teman-teman di sekeliling saya. Harapan-harapan mereka yang sedikit banyak dilontarkan dengan bercanda, misal, “nanti ambil spesialis kandungan ya, biar bisa bantu aku lahiran,” mungkin nanti akan menjadi alasan saya untuk tidak mengeluh macam-macam selama ditempa menjadi dokter hebat.
Dan di sekeliling saya, sungguh saya sangat bahagia dengan ini, diliputi oleh teman-teman Angkatan 2016 yang sangat luar biasa. Meskipun saat ini saya mengaku masih belum terlalu mengenal satu sama lain, namun saya yakin Angkatan 2016 berisi orang-orang yang adaptable. Masalah pergaulan tidak akan menjadi masalah lagi. Dear teman-teman, tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar, loh. Mari terus menjaga kekompakan, saling tolong menolong bila ada yang merasa kesulitan, dan tetaplah bergandengan tangan. Tujuh tahun loh guys, tujuh tahun. Ada banyak yang bisa dibagi. Waktu, senyum, tawa, airmata, suka dan duka. Harapan saya sederhana saja. Setelah selesai nanti, semoga kita semua bisa bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
Terakhir, saya diminta menuliskan motto hidup juga di tulisan ini. Bila harus begitu, maka izinkan saya mengutip perkataan dari seorang ahli evolusi terkemuka di dunia yang bernama Charles Darwin disertai dengan perubahan seperlunya.
“Yang akan selamat sampai ke garis akhir bukanlah yang paling sempurna. Yang akan selamat sampai ke garis akhir adalah mereka yang bisa beradaptasi terhadap situasi apapun.”
Terimakasih sudah bersedia meluangkan waktu untuk membaca. Sekian, wasalam.
Waah Nisil keren banget SMAnya, banyak yg ngga pribumi gituu wkwk
BalasHapusQuotesnya mantep sill! Perjalanannya oke sekali
BalasHapussalut nisil ! hebat-hebat
BalasHapushidup pesantren!!!
BalasHapusselalu betah di depok yaa nisil :D
BalasHapuswah nisil hebat sekalii bisa membuktikan bahwa anak daerah juga ga kalah hebat ;;D
BalasHapuskerenn nisiil merantau ke depok ye
BalasHapusJangan minder lagi ya sil! Kamu pasti bisaaa
BalasHapusku sangat bangga padamu, kawan :))
BalasHapus