
Nama saya Maghfirah Anastamia Mariska. Biasa dipanggil Fira. Saya merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Saya dilahirkan dari pasangan suami istri Dr. Ir. Nasrun Ibrahim, MT dan Ummi Kalsum, SH, MH. Saat ini, saya terpisah ribuan kilometer dari mereka. Membuat saya merasakan rindu yang mendalam kepada keduanya serta daerah tercinta saya, Aceh.
Menjadi dokter merupakan misi yang diamanahkan Allah kepada saya. Mengingat, saya tidak pernah terpikir menjadi seorang dokter, melainkan ditakdirkan Allah untuk berada hingga ke tahap ini. Lalu, Universitas Indonesia, juga tidak pernah ada dalam bayangan saya. Bukan, bukan karena kampusnya. Tapi letak daerahnya yang dekat ibukota negara. Membuat saya merasa jenuh jika membayangkannya. Bagaimana tidak, penuh polusi, kepadatan penduduk, gaya hidup hedonis pemudanya, dan tindakan kriminal dimana-mana. Belum lagi jika kita mengingat harga segala jenis kebutuhan hidup.
Di mata saya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia merupakan Fakultas Kedokteran terhebat di Indonesia. Banyak rekan-rekan saya yang mengidamkan berkuliah di Universitas Indonesia, apalagi Fakultas Kedokterannya. Namun, lebih banyak lagi rekan-rekan saya yang justru gagal. Tidak sedikit pula yang mendambakan bisa melanjutkan studi S2-nya di Universitas Indonesia.
Saya paham sejarah penting FKUI. FKUI merupakan Fakultas Kedokteran tertua di Indonesia. Dahulu bernama STOVIA. Tempat berasalnya insan-insan hebat yang mengukir sejarah seperti dr. Wahidin Soedirohusodo dan Abdulrachman Saleh. Di tempat ini pula, saya yakin sekali bahwa mahasiswa-mahasiswanya tidak hanya diajarkan caranya menjadi dokter yang baik dan profesional, tetapi juga diarahkan untuk menatap masa depan dengan cara yang benar. Untuk itu, bagi saya menjadi bagian dari FKUI merupakan salah satu anugerah terindah yang Allah berikan dan tentu saja, ada harga mahal yang harus saya bayar.
Untuk bisa berstatus sebagai mahasiswa aktif di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia seperti saat ini tentu melalui perjalanan yang panjang. Tapi saya sering kali menganggap kisah saya “unik”. Mungkin saya bukan anak-anak lain yang berada di FKUI saat ini. Saya bukan termasuk orang yang sudah punya target sejak awal untuk menjadi bagian dari FKUI.
Awal masa SMA, saya bersekolah di sebuah sekolah yang tersohor nama dan prestasinya di Provinsi Aceh. SMA Negeri Modal Bangsa Arun namanya. SMA ini berada cukup jauh dari rumah saya. Nyaris satu jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Alhasil, saya berangkat tepat setelah tiga puluh menit atau lebih setelah azan subuh dan baru tiba di rumah tiga puluh menit sebelum azan maghrib. Hal ini membuat saya merasa cukup lelah. Belum lagi tugas-tugas yang diberikan di sekolah. Itu semua cukup membuat saya jatuh sakit hanya dalam waktu kurang dari sebulan. Akhirnya, saya memutuskan untuk pindah ke SMA terdekat di lokasi saya tinggal.
SMA baru, guru baru, suasana baru, tapi bukan teman baru. Saya kembali berjumpa dengan teman saya semasa SMP yang terlihat amat tidak menyukai saya. Ketika ditanyakan alasannya, dia justru tidak pernah bisa menjelaskan alasannya membenci saya. Peduli amat, saya tidak pernah memberikan perhatian lebih terhadap sifatnya itu. Tapi ketika saya pertama datang ke sekolah itu, bahkan seminggu sebelum kepindahan saya, berbagai kabar buruk berhasil diembuskannya demi membuat teman-teman sekelas enggan menemani saya. Itu yang membuat saya tidak nyaman. Mungkin siapa saja boleh membenci saya, tapi jangan dengan ikut mencari teman untuk membenci saya.
Saya tidak peduli dengan lingkungan saya yang ingin membenci saya. Lakukanlah. Tapi lingkungan yang mencintai saya akan tetap jadi prioritas saya. Ya, saya memiliki tiga orang sahabat yang begitu mendukung langkah baik yang saya tempuh. Entah itu dalam kehidupan keluarga, sekolah, bahkan minat dan bakat.
Hari terus berlalu, melesat begitu cepat, seperti anak panah.
Saya tumbuh menjadi seorang siswa kelas 12 SMA. Sebentar lagi kuliah. Di saat teman-teman saya bingung memikirkan kemana harus berlanjut, saya dengan mantapnya menjawab, “Insha Allah ITB!”. Benar, saya punya target masuk ITB sejak hari pertama saya duduk di bangku SMA. Saya memilih ITB, karena saya amat mencintai kimia. Saya punya mimpi terbesar untuk menjadi ilmuwan kimia dan untuk menempuh mimpi itu, saya merasa bahwa FTI atau FMIPA ITB adalah jalan terbaik.
Lalu, kenapa sekarang ada di FKUI?
Itu adalah satu pertanyaan yang saya sendiri belum tahu alasan pastinya. Saya hanya tahu bahwa ini adalah takdir Allah. Allah sedang mempersiapkan rancangan indah untuk masa depan saya atau bahkan lebih signifikan lagi, masa depan negeri ini melalui tangan saya.
Saya begitu ingat, teman-teman dekat saya sangat senang memanggil saya dengan sebutan “Buk Dokter” dan seketika saja bibir saya mengerucut, tidak senang dengan hal itu. Apalagi ibu saya, senang sekali mendoakan saya dalam shalatnya agar putri sulungnya menjadi dokter. Katanya, ia ingin sekali ketika tua nanti dirawat oleh anaknya sendiri. Bahkan saya masih ingat jelas ketika sehabis jam pelajaran Bahasa Indonesia, guru saya menanyakan novel saya yang sedang dalam proses cetak, lalu ia berkata, “kemarin Ibu ke praktek dokter mata. Nama dokter itu dr. Maghfirah. Tiba-tiba ibu teringat Maghfirah. Insha Allah Maghfirah akan jadi seorang dokter”. Respon saya saat itu hanyalah senyum simpul.
Seminggu menjelang SNMPTN. Perdebatan kecil terjadi antara saya dan ibu saya. Ibu tidak ridha saya memilih FMIPA ITB. Alasannya, “kalau kamu ingin merantau jauh, ambillah yang terbagus dan yang termahal”. Saya pasrah, sekaligus bingung harus bagaimana. Waktu tinggal satu minggu lagi, tetapi saya belum punya pilihan pasti. Akhirnya, saya memutuskan untuk shalat istikharah. Satu kali, belum ada jawaban. Dua kali, dan hasilnya cukup mengejutkan! Tiba-tiba saja hati saya yakin memilih FKUI. Saya hanya tahu, ini adalah jawaban istikharah saya. Saya meminta jalan terbaik menurut Allah untuk hidup saya, keluarga saya, agama saya, nusa bangsa saya, dan jodoh saya. Jadi, sudah pasti inilah jawabannya.
Hari pertama pendaftaran dibuka, saya langsung berusaha mendaftar ke UI secepat yang bisa saya lakukan. Tapi sayang, 8 jam kemudian barulah saya bisa sukses mendaftar lantaran server yang sibuk. Saya ingat, di hari itu, ada seorang guru yang tidak senang dengan saya (entah apa alasannya) menanyakan pilihan saya. “Kamu pilih kemana, Maghfirah?” dan saya hanya menjawab “Kedokteran UI, Pak.” Lalu apa responnya? Dengan tatapan sinisnya, ia menjawab “Ha? Kedokteran UI? Yakin kamu?”
Sebenarnya guru tersebut bukan satu-satunya orang yang tidak percaya dengan hal di luar kata biasa. Kakak-kakak kelas serta teman saya juga banyak yang merasa pesimis. Bahkan termasuk saya sendiri. Pasalnya, bagaimana mungkin siswa dari sekolah kampung yang biasa saja, tidak terkenal di kancah provinsi bahkan nasional, bahkan lebih membuat pesimis lagi, tidak ada alumni dari sekolah tersebut yang berhasil masuk PTN setara UI. Tapi entah mengapa, saya yakin sekali, Tangan Allah itu selalu bermain di antara potongan-potongan kisah hidup manusia.
Saya mungkin memang tidak punya nama yang wah, bahkan jika dipikir-pikir, ada puluhan anak-anak lain dari sekolah-sekolah berpengalaman di Aceh serta terkenal namanya di UI yang memilih FKUI. Tapi saya punya satu hal yang terpenting. Tekad, usaha, dan doa saya. Hanya itu modal saya. Hanya itu yang konsisten saya jalankan hingga hari ini bisa menulis seperti ini di sini.
Menunggu pengumuman SNMPTN dalam waktu nyaris dua bulan membuat saya tidak sabar, cemas, bahkan terkadang merasa sangat bimbang. Hari-hari penantian saya siapkan dengan memecahkan soal-soal SBMPTN karena saya punya firasat bahwa saya tidak akan lulus SNMPTN kali ini.
9 Mei 2016. Subhanallah, sebuah kebesaran Allah yang luar biasa. Saya dinyatakan lulus SNMPTN dan diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sujud syukur, air mata, tawa, dan rasa haru menyelimuti saya dalam satu waktu sekaligus. Saya merasa bahwa ini adalah jawaban indah yang ingin diberikan Allah. Lebih mengejutkan lagi, hingga saat ini, hanya saya satu-satunya pelajar asal Aceh yang menjadi bagian FKUI 2016. Alhamdulillahirabbil’alamin.
Harapan saya ke depannya, saya bisa hidup mandiri, tegar, dan pantang mundur dalam menyelesaikan studi saya di FKUI. Saya juga berharap kelak akan menjadi dokter yang bisa mengubah sedikit citra buruk kesehatan di Indonesia. Jauh dari keluarga, tentu bukanlah pilihan yang mudah. Sangat sulit saya lakukan, bahkan sampai detik ini. Saya hanya berharap satu kepada keluarga saya. Saya hanya ingin saya bisa berkumpul kembali dengan keluarga saya. Berkumpul selamanya dan tidak akan berpisah lagi. Saya juga berharap, FKUI ke depannya akan semakin bagus, sehingga semakin dikenal di dunia internasional.
Hari ini, saat saya menulis ini, saya bersyukur menjadi diri saya. Saya tidak akan menyianyiakan FKUI seperti saya menyianyiakan SMA tempat saya bersekolah pertama sekali. Hari ini pula, saat saya menulis ini, saya bangga menjadi alumni SMA yang nama indahnya belum saya sebutkan hingga terangkai dengan indah; SMA NEGERI 1 MUARA BATU. Saya bangga menjadi bagiannya.
Terakhir, sebagai penutup narasi ini, saya ingin memberikan kata-kata motivasi hidup saya selama ini.
“Bukan dimana yang menjadi persoalan belajar, tetapi bagaimana cara kita belajar.”
firaaa hebaattt semangat yaaa
BalasHapussemangat di tanah rantau, firaaa!��
BalasHapusSepertinya kamu cocok jadi motivator dan penulis, menginspirasi, fix novelnya juga share lah hehe lanjutkan perjuangannya!
BalasHapusWiiih menginspirasi bgt fir, keren deh..
BalasHapusWiiih menginspirasi bgt fir, keren deh..
BalasHapusOh fira dari aceh rupanyaa
BalasHapusMenyentuh dan menegangkan, 8/10 sukses ya fir
BalasHapusFiraaa tetap semangat kuliahnya yaa
BalasHapussemangat fir
BalasHapuskeren fir tetap semangat ya
BalasHapusyee semangat yaaa
BalasHapusDitunggu free sample novelnya
BalasHapus