
Nama saya Muhammad Imran Khan Ismail. Saya lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juli 1996 sebagai anak pertama dari Capt. Fadjar Semiarto dan Baby Isabella. Saya beruntung dilahirkan di keluarga yang berkecukupan secara finansial dan menyayangi saya. 2 tahun kemudian, saya dan keluarga dikaruniai anggota terbaru dan terakhir dari keluarga saya; Leonardo Fachry Hakim.
Saya memulai pendidikan saya di SD Tarakanita. Saya lalu meneruskan pendidikan saya ke SMP Cakra Buana. Untuk belajar hidup mandiri, orang tua meminta saya untuk masuk ke boarding school. Akhirnya pilihan saya tetapkan pada SMAN Unggulan MHT, program sekolah pemerintah terbaru yang diproyeksikan menjadi SMA terbaik di Jakarta dan Indonesia. Prestasi muridnya pun tidak tanggung-tanggung, banyak peraih berbagai medali olimpiade level nasional dan internasional yang dididik disini. Saya pun mengikuti serangkaian tes dan wawancara dan akhirnya diterima sebagai murid MHT angkatan ke-3.
Menjelang akhir semester 6 saya dilemma mengenai pilihan studi saya selanjutnya. Jujur, saat saya masih kecil, saya kagum dengan pekerjaan kakek saya dari ayah yang berprofesi sebagai seorang dokter. Bagi saya yang memiliki rasa empati yang tinggi untuk sesama saat saya masih kecil, pekerjaan untuk menolong orang lain adalah pekerjaan yang paling mulia di mata saya. Namun di sisi lain, hidup dan tumbuh di keluarga penerbang; ayah saya seorang pilot pesawat komersil dan kakek dari ibu saya yang merupakan pilot TNI AL, saya mulai menumbuhkan ketertarikan di dunia aviasi. Akhirnya saya putuskan untuk masuk sekolah pilot selepas SMA. Berbagai proses aplikasi yang cukup panjang saya jalani dan saya masuk sebagai cadet di Singapore Technologies Aerospace Academy. Belajar disini pun tidak main-main dan jujur, dengan kurikulum khusus yang diterapkan di sekolah ini, jauh lebih sulit dari SMA saya yang saya anggap berat. Ditambah dengan fakta bahwa saya harus dapat dengan cepat beradaptasi di negara lain dengan lingkuran yang baru seorang diri. Disini saya dilatih dan dituntut untuk benar-benar hidup secara mandiri, mengelola keuangan saya sendiri, dan belajar bertanggung jawab untuk diri saya sendiri, sambil tetap mampu bersosialisasi dan membangun network dengan orang asing dari berbagai macam negara yang saya temui disini. Saya menyelesaikan sekolah teori saya pada Desember 2015.
Seharusnya saya dijadwalkan untuk melanjutkan ke proses selanjutnya, yaitu latihan terbang menggunakan pesawat kecil. Namun, dikarenakan satu dan lain hal termasuk diantaranya masalah cuaca yang diluar kendali manusia, pendidikan saya tertunda berbulan-bulan. Setelah menghabiskan hampir 3 bulan dari Januari untuk bersenang-senang dan melepas penat selepas pembelajaran yang melelahkan sambil menunggu jadwal terbang, saya mulai jenuh dirumah. Karena teman-teman saya sudah masuk jadwal kuliah, saya hanya dapat hang-out dan bermain dengan mereka pada akhir pekan saja. Suatu ketika saya berkumpul setelah bermain futsal, teman saya menyarankan saya untuk daftar kuliah saja daripada menghabiskan waktu di rumah dengan tidak produktif. Tidak lama setelah itu, saya dapat kabar bahwa paling cepat saya dapat kembali terbang setahun lagi. Saya pun berpikir bahwa tidak mungkin saya menghabiskan 1 tahun hidup saya secara cuma-cuma begitu saja. Saya ingat-ingat kembali saran teman saya dan akhirnya saya mantapkan diri untuk ikut ujian tulis. Namun saya sempat bingung, jurusan apa yang mau saya ambil? Disitulah saya teringat kembali dengan cita-cita masa kecil saya; menjadi seorang dokter. Saya pun berkonsultasi dengan kakek saya dan beliau menyarankan saya untuk masuk fakultas kedokteran terbaik; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Namun waktu itu tinggal kurang lebih sebulan menuju SBMPTN, saat awal-awal dibukanya pendafataran. Saya sudah mengetahui bahwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia merupakan salah satu, kalau bukan fakultas terfavorit di seluruh Indonesia. Orang yang bersaing dengan saya untuk mendapatkan satu kursi disini pasti jumlahnya puluhan ribu orang atau lebih. Dan mereka pasti sudah melakukan persiapan yang terbaik; berbarengan dengan persiapan UN, ikut bimbingan belajar favorit, mungkin bahkan belajar seharian. Sedangkan saya? Sudah 2 tahun saya tidak pernah belajar bahkan menyentuh materi SMA sedikitpun karena disibukkan dengan dunia aviasi. Mau masuk bimbingan belajar pun sudah terlambat, sudah tinggal sebulan menuju tes sehingga kursi-kursi bimbingan belajar favorit pasti sudah terisi penuh. Namun saya percaya diri saja. Saya daftar SBMPTN, lalu saya beli sebuah buku persiapan SBMPTN dan belajar secara otodidak. Sebulan menuju tes mungkin kebanyakan pendaftar akan belajar mati-matian setiap harinya, dari pagi hingga pagi lagi. Apalagi saya yang harus kembali mempelajari materi SMA lagi dari nol? Namun kenyataannya justru tidak. Saya lebih percaya kualitas daripada kuantitas. Saya tidak belajar dari jam 7 pagi sampai 7 malam atau lebih seperti orang-orang yang notabene “ambisius”. Saya justru belajar dari jam 9 pagi sampai 12 siang, istirahat, lalu dilanjutkan dari jam 3 siang sampai 6 sore, tanpa belajar malam. Bagi saya percuma untuk menjejalkan informasi di otak kita tanpa kita proses saat istirahat. Rutinitas ini saya jalani sampai akhirnya saya ikut tes. Memang, saya merasa sedikit panik terutama h-7 tes. Apakah saya sudah cukup belajar untuk tembus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia? Bukankah seharusnya saya belajar lebih banyak? Bagaimana kalau tidak diterima? Pikiran-pikiran tersebut menghantui saya dan menurunkan focus belajar saya. Sampai pada h-2, teman-teman saya mengadakan kumpul untuk bermain futsal. Tentunya itu bukan ditujukan kepada saya karena mereka mengetahui bahwa saya sedang persiapan SBMPTN. Jujur saya sangat ingin bermain. Namun, terbesit di pikiran saya antara 2 pilihan; membuang satu hari untuk bermain futsal atau belajar lebih satu hari untuk memantapkan persiapan tes saya? Setelah berpikir dengan jernih, saya sadar bahwa jawabannya mudah dan jelas : Futsal. Saya tidak hanya sekedar ingin, saya butuh ini. Saya butuh refreshing untuk menjernihkan kembali pikiran saya agar kembali ke kondisi optimal saat mengerjakan ujian. Selepas bermain futsal, saya merasa pikiran saya lebih lega. Pikiran-pikiran yang menghantui saya sudah hilang. Saya pun mengikuti tes 2 hari kemudian. Dirasa cukup sulit memang, namun entah mengapa saya tidak merasakan stress yang berlebihan. Beberapa hari kemudian sudah memasuki bulan Ramadhan. Dengan berpuasa dan beribadah, pikiran dan hati saya tenang. Saya hanya berserah diri kepada Allah SWT. Saya baru mulai was-was saat hari pengumumannya tiba, apalagi websitenya sulit untuk diakses karena berbarengan dengan ratusan ribu orang lainnya. Pikiran saya gundah selama 15 menit menunggu website untuk terbuka. Dan begitu websitenya menunjukkan bahwa saya tembus ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya hanya dapat bersyukur kepada Allah SWT. Karena saya percaya memang ini jalan yang telah Allah tetapkan untuk saya. Namun, disitu saya juga berpikir bahwa saya harus memastikan apakah saya bisa berkomitmen untuk berkuliah secara sungguh-sungguh sampai lulus, yang mana saya harus menangguhkan sekolah pilot saya terlebih dahulu? Akhirnya saya memutuskan bahwa saya memiliki cita-cita baru, yaitu menambahkan gelar Dr. dan Capt. di depan nama panjang saya.
Diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjadi lembaran baru dalam perjalanan hidup saya. Disini saya berharap dapat menjadi mahasiswa yang berprestasi membanggakan dan juga aktif berkontribusi di lingkungan keluarga Universitas Indonesia, terutama Fakultas Kedokteran. Kalau saya sudah mengerjakan sesuatu yang saya minati, saya tidak suka melakukannya dengan setengah-setengah. Saya akan total untuk mengembangkan diri dan mengeksplorasi semua potensi saya disini, dan focus untuk menyelesaikan pendidikan saya disini sebelum saya kembali melanjutkan pendidikan pilot saya.
Saya hidup dengan motto, “Ordinary morality is only for ordinary people.”
Saya tidak mau hidup dengan dikekang oleh persepsi public tentang apa yang umum. Sebagai contoh, pasti banyak orang yang mempertanyakan keputusan saya untuk kuliah di kedokteran setelah mengenyam pendidikan pilot. Keputusan yang memang aneh untuk kebanyakan orang. Namun, pendapat adalah milik moralitas masing-masing. Saya percaya bahwa hidup kita, sebelum yang lain, adalah milik kita sendiri. Kita tidak dilahirkan di dunia ini untuk mematuhi paradigma publik. Kita bebas untuk mengejar cita-cita dan impian masing-masing. Asal ada kemauan, semua itu bisa tercapai. Karena hidup itu berawal dari mimpi.
Waaawww menarik ya, boleh juga. SUKSEEES!!
BalasHapusmenarik perjalanannya!!!! semoga tidak menyesal memilih untuk belajar lagi di fkui ya.
BalasHapussemoga sukses jadi mahasiswa fkui
BalasHapusSemoga tercapai cita-citanya Imran punya gelar dr dan capt
BalasHapusSusses terus yaaa selalg semangat jaagan lupa berdoaa
BalasHapusWaaahh menarik ya sangatt inspiratif lhoooo
BalasHapusKeren ceritanyaaa
BalasHapusKeren banget sumpah!
BalasHapusGelo ceritanya teaa
BalasHapussuksess
BalasHapusaduhh kerenn amatt
BalasHapusAmazing
BalasHapus