[Perjalanan Menuju FKUI] Natan Kevin Partogu Siagian


Nama saya Natan Kevin Partogu Siagian, lahir di Banjarmasin satu hari sebelum Natal di tahun 1997. Sangatlah disayangkan saat dulu masih bayi saya agak kurang sabar karena tanggal lahir saya bisa menjadi tanggal cantik apabila saya dan sistem reproduksi ibu saya dapat menunggu 21 jam lagi.

Orangtua saya Andreas Siagian dan Tjanti Permata disaat itu adalah pasangan muda yang belum pernah memiliki anak sebelumnya. Untungnya, sebagai putra pertama dari pasangan dokter muda dan cucu dari empat orang yang sempat mengemban pendidikan dokter (lulus semua kecuali ayah dari ibu yang drop out dari FKUI untuk mengejar mimpi menangkap maling), saya dapat terlahir sehat walau tidak semontok adik-adik saya yang beberapa tahun kemudian menyusul keluar.

Lahir di keluarga dokter, lucunya saya dulu tidak pernah tertarik menjadi dokter. Karena saat itu orang tua saya masih sibuk-sibuknya sebagai dokter muda, kenangan masa kecil saya yang berhubungan dengan dokter adalah wajah-wajah suram orang tua saya saat bangun pagi yang seakan berteriak "Tuhan, ambil aku sekarang". Saya tidak tahu bagaimana ekspresi mereka saat pulang malam, biasanya saya sudah tidur karena saya anak baik-baik. Untungnya karena rumah kami saat itu masih sangat kecil (sekecil gaji dokter muda), kehangatan orang tua selalu kami rasakan di sebuah tempat tidur kecil yang diisi dua orang dewasa, dua anak SD, dan dua bayi.

Tidak ingin jadi dokter, dulu saya berharap menjadi Superman. Saat saya makin tua dan makin pandai, saya sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang bisa jadi Superman. Oleh karena itu, di usia SMP saya berpindah ke mimpi yang lebih masuk akal: Iron Man.

Mimpi itu terus saya bawa ke usia SMA sampai di pertengahan semester ganjil kelas 2 SMA. Disaat itu, ibu saya terjangkit penyakit kanker sel darah putih. Entah karena pekerjaannya sebagai Spesialis Radiologi atau karena hobinya makan bakso sarat vetsin di kilometer 1 jalan Ahmad Yani Banjarmasin, yang jelas ibu saya sakit parah. Jujur saya lumayan kaget karena hanya 2 minggu sebelum didiagnosis ibu saya mengunjungi saya di Surabaya dan ia masih sehat-sehat saja, hanya ia merasa mudah lelah. Tindakan cepat ayah dan ibu saya mungkin yang menyelamatkan nyawa beliau. Tanpa pengetahuan yang didapat dari bersusah payah sekolah, mungkin ibu saya hanya berpikir bahwa ia kelelahan.

Saat itulah muncul benih-benih keraguan di hati saya. Apa gunanya menjadi Iron Man apabila orang yang kamu cintai meninggal dihadapan penyakit?

Tiga bulan berlalu, ibu saya sembuh. Perawatan di RSCM berhasil menekan perumbuhan abnormal sel darah putih dengan hanya mengambil rambut indah milik beliau. Dengan hati tenang saya pergi mengikuti pertukaran pelajar AFS di Jerman.

Ketenangan di hati saya tidak bertahan lama karena pada kuartil ketiga year-round stay saya, terdengarlah bahwa leukimia Ibu saya kambuh lagi. Terpisah jarak, ruang, dan benua; saya disini dan beliau disana, saya harus puas dengan berjumpa via suara. Namun saya selalu menunggu perjumpaan saya dengan ibunda tercinta. (1)

Exchange year saya berakhir, saya pulang ke rumah. Pada awalnya saya tidak terlalu was-was, karena saat pertama kali kambuh ibu saya pulih total tanpa ada bekas-bekas penyakit kecuali kepalanya yang tercukur bersih. Dan juga saat itu ibu saya sudah lepas dari kemoterapi. Ibu di imajinasi saya adalah ibu seperti biasa, gemuk dan bahagia. Hanya kekurangan beberapa helai rambut.

Tapi, saat saya masuk ke kamar orang tua saya, pemandangan didepan saya tidak sesuai anggapan saya. Terbaring lemah di tempat tidur, ibu saya setengah tertidur. Terjangkit atrofi lengan ibu saya susut bagai ranting. Kedua kakinya sudah tidak bisa lagi menyokong berat badannya. Kulitnya kering bagai daun gugur. Saat ia terbangun dan tersenyum kearah saya, matanya sudah tidak bisa lagi melihat dunia. Hati saya hancur.

Betapa besarnya efek sebuah penyakit pada tubuh seseorang. Dahulu saat saya mengunjungi orang tua saya di rumah sakit, tubuh para pasien yang dirundung penyakit tidak pernah mengganggu saya. Tidak pernah sampai sekarang.



Keesokan harinya, saya memerhatikan bahwa dinamika di rumah saya pun sekarang sudah berbeda. Adik yang tertua setelah saya kini telah mengambil posisi sebagai ibu di rumah. Beban yang dulu ditanggung oleh ibu saya tanpa saya sadari, kini harus dibagi bersama. Ayah saya yang pulang pukul 11 malam pun mencuci semua piring yang terlupakan oleh kami. Si bungsu yang dulu selalu curhat ke ibu saya, kini harus menyimpan perasaan sedihnya agar ibu saya kondisi moralnya terjaga.

Di saat itu saya sadar bahwa efek dari penyakit bukan hanya terjadi ke individu. Sebuah penyakit memiliki efek yang menjalar ke keluarga, lingkaran persahabatan, organisasi, dan seterusnya. Satu orang terkena penyakit, semua orang ikut tersakiti. Di saat itu saya mantap meninggalkan mimpi-mimpi saya di bidang teknik dan mulai memungut buku-buku yang berisi ilmu kehidupan.

Saya sadar bahwa menjadi dokter bukan berarti kita menjaga seseorang tetap hidup agar dapat sakit lagi dan membayar lagi, menjadi dokter berarti merawat banyak ikatan-ikatan yang berpusat pada si pasien. Saya sadar bahwa yang saya tolong bukan hanya orang sakit. Yang saya tolong adalah anak-anak yang memerlukan ibu mereka. Yang saya tolong adalah keluarga yang disokong seorang ayah. Yang saya tolong adalah hati seorang pacar yang memerlukan cinta pasangannya. And isn't that beautiful?

Mantap mengikuti langkah ayah dan ibu, saya pertama mendaftar SNMPTN di almamater mereka yaitu Universitas Airlangga. Puji Tuhan disaat pengumuman saya disambut dengan tulisan merah yang berisi pesan agar saya tetap semangat dalam mencari perguruan tinggi lain. Bagai seorang fakir asrama yang baru saja ditolak, saya sakit hati. Pandangan saya berpindah ke Universitas yang memasang standar persentase SBMPTN lebih tinggi dari Universitas Airlangga; Universitas Indonesia.

Sebagai siswa yang belum pernah mengikuti OBM UI, kemampuan mencari informasi saya sangat terbatas. Saya kurang tahu menahu mengenai semua jalur lain yang bisa diambil untuk masuk ke Perguruan Tinggi ini. Di pikiran saya hanya ada SBMPTN. Dan Simak. Tapi pengalaman saya dengan tryout Simak agak sedikit membuat saya meragukan kans saya untuk menembus jalur itu. Jadi SBMPTN. Cuma SBMPTN.

Persiapan saya untuk mengerjakan SBMPTN memang tidak sedrama perjalanan saya memilih jurusan kedokteran. Perjuangan saya untuk mempersiapkan diri juga mungkin tidak serepot teman-teman saya terutama yang berasal dari kota-kota yang masih kurang berkembang. Saya hanya perlu melakukan satu hal: belajar.

Hari-hari saya satu bulan sebelum SBMPTN diwarnai oleh warna-warna menyedihkan seperti kelabunya persentase try out, dan kelam hitam mimpi yang terlalu tinggi. Semua hari kurang lebih sama, dering alarm pertanda pagi yang tak terhindarkan sementara impian pudar perlahan.(2) Karena memang sudah tidak sekolah, saya meluapkan gaya hidup saya di Eropa yaitu mandi sekali tiap minggu untuk melowongkan waktu demi belajar.

Pukul tujuh sampai di Ganesha Operation, pembelajaran harian saya dimulai. Waktu berlalu, pukul sebelas saya berpulang ke rumah. Setelah menikmati indomie harian saya, kembali saya belajar sampai pukul delapan malam. Soal latihan SBMPTN sudah bagaikan cemilan buat saya. Pada pukul delapan malam saya mengistirahatkan diri dengan bermain Dota 2, permainan setan yang akan menguras hidup dan jiwa anda bagaikan seorang koruptor menguras uang negara. Dua jam kemudian biasanya ada tukang nasi goreng langganan saya lewat untuk memberikan asupan nutrisi terakhir yang saya gunakan untuk belajar lagi sampai muncul hari esok.

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, perjuangan saya tidak seribet itu. Bagian paling drama dari perjuangan saya mungkin hanya keputusan untuk cuti menulis pesan singkat melalui platform online ke gebetan saya. Pada akhirnya dia juga berkata bahwa mungkin kita berdua lebih baik sebagai teman, kurang lebih seminggu sebelum pengumuman SBMPTN. Tapi itu cerita untuk lain waktu.

Kesimpulan saya untuk pejuang-pejuang SBMPTN di tahun mendatang, belajar yang rajin ya. Saya menyarankan agar penerus bangsa semua menyimpan HP atau gadget kalian ditempat yang tidak terlihat mata. Gadget memiliki medan gravitasi tersendiri yang dapat membelokkan ruang-waktu dan membuat satu jam bagaikan satu detik dan satu hari bagai satu episode descendant of the sun. Jaga HP kalian seperti menjaga hati.

Bicara soal hati, kuatkan hati kalian agar tidak gugup pada hari SBMPTN dan tidak melukai diri pada hari pengumuman. Seperti kata kakak random yang namanya sudah tidak saya ingat lagi pada satu seminar keagamaan di Ganesha Operation, "Persiapkan diri 100 persen untuk lulus. Persiapkan diri juga 200 persen untuk gagal". Memang kedengaran tidak masuk akal, tapi kata-kata ini memang benar.

Ikut SBMPTN itu seperti menembak gebetan; harus siap sedia dan yakin bahwa dia akan membalas perasaanmu, tapi saat ditolak harus tabah dan siap untuk melangkah lagi. Walaupun hatimu sakit dan kamu merasa tidak akan pernah jatuh cinta lagi, ingat bahwa masih ada nyawa dari sang Pencipta di dalam tubuh kita. Sadarlah bahwa kita bertugas mulia dalam hidup ini. (3)

Bentuk dari 100 persen siap untuk lulus adalah belajar sampai kamu 100 persen yakin lulus. Seperti kata-kata motivasi dari Muhammad Ali, "I don't count my sit-ups. I only count when it starts hurting. That is when I start counting, because then it really counts". Bagi SBMPTN, saya hanya menghitung soal-soal yang tidak bisa saya kerjakan. Tiap hari buatlah target untuk dapat mengerjakan soal yang sebelumnya tidak bisa kita kerjakan.

Untuk meraih 200 persen kesiapan gagal, disaat pengumuman kita harus tenang, kalau bisa cari kegiatan. Saya pribadi mendaftarkan diri untuk mengikuti retret agar bisa mengalihkan pikiran dari patah hati (baca: pengumuman SBMPTN). Saat akhirnya saya mendapat tulisan bahwa saya berhak belajar di Jakarta, hati saya sangat lah bahagia. Sangking bahagianya, tanpa pikir panjang setelah pulang dari retret saya mencukur habis rambut saya. Pada akhirnya, keputusan ini saya sesali setelah mendengar bahwa FKUI tidak mewajibkan mahasiswa barunya untuk potong bagai biksu shaolin.

Kedepannya saya harap bahwa saya dapat menghidupi peran saya sebagai mahasiswa FKUI. Semoga saya dapat membuat ibu tercinta (latin: alma mater) ini bangga dan tidak merasa rugi menginvestasikan kursi disini untuk saya. Harapan saya adalah menjadi dokter yang dapat menyelamatkan banyak orang bagaikan Iron Man yang menyelamatkan New York dari serbuan alien.

Saya juga berharap bahwa ibunda saya dapat kembali sehat. Semoga ada mukjizat dimana seorang dokter menemukan cara untuk mengobati mata ibunda saya tanpa perlu menggunakan donor yang harganya luar biasa mahal. Semoga juga dokter misterius ini justru membersihkan ibu saya dari resiko leukimia yang bisa muncul kapan saja. Atau jangan-jangan dokter misterius ini bisa jadi saya sendiri? Semoga.

Komentar

  1. Terharuuu. Semangat terus yaa,sukses di FKUI!!!

    BalasHapus
  2. Terharuuu. Semangat terus yaa,sukses di FKUI!!!

    BalasHapus
  3. Jatmiko Gustinanda16 Agustus 2016 pukul 03.49

    Sangat menginspirasi dan menggerakkan

    BalasHapus
  4. Selamat dan semoga sukses jadi dokter ya Kevin. Terhar.... Betul sekali kevin ... Seorang dokter tidak hanya menyelamat kan seorang pasien, tapi juga 1 keluarga. Semoga mama nya lekas sembuh yaa ... Mukjizat selalu ada.!

    BalasHapus
  5. Kisahmu sangat inspiratif :) Semangat ya untuk belajarnya di FKUI, semoga menjadi dokter yang baik, semoga mamanya segera sembuh!

    BalasHapus
  6. ya ampun nyentuh banget kak!! Semoga tercapai semua cita-citanya! :)

    BalasHapus
  7. TINY TIGER - Titanium Art
    TINY TIGER, TINY TIGER black oxide vs titanium drill bits is a glass sculpture that ford titanium utilizes a glass-based design babyliss pro nano titanium hair dryer that incorporates titanium exhaust wrap various titanium guitar chords metals and minerals.

    BalasHapus

Posting Komentar