
Sejak kecil, saya sudah tidak asing lagi dengan profesi dokter. Ibu saya bekerja sebagai dokter anak sejak saya masih di TK, dan saya dulu penyakitan dan pernah harus dijahit tangannya karena menabrak lemari kaca. Meskipun terbiasa dengan dunia medis, dari kecil saya tidak mau menjadi dokter. Ketika ditanya cita-citanya apa, saya selalu menjawab ingin menjadi Astronot, Arsitek, Atlet renang (dulu saya suka berenang), sampai Presiden. Menjadi dokter bukanlah impian masa kecil saya.
Di SMP, saya aktif di berbagai lomba-lomba biologi yang mengharuskan saya untuk membaca materi yang sudah bukan merupakan materi anak SMP pada umumnya. Di tahun-tahun inilah saya baru mulai merasa ingin menjadi dokter setelah saya dewasa nanti.
(Dulu, saya mengatakan ingin menjadi dokter jiwa dan sering dijadikan bulan-bulanan oleh teman-teman saya di kelas, mungkin karena menurut mereka saya sendiri kurang waras)
Menginjak masa SMA, saya berpindah dari SMP saya yang kecil – satu angkatan hanya beranggotakan 80 orang – ke SMA yang satu angkatannya saja mencapai ratusan orang. Meskipun begitu, saya tidak ingin kehilangan motivasi saya untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya disibukkan oleh beberapa kegiatan kepanitiaan, dan saya juga belajar mengenai diri saya sendiri dan mengeksplor minat saya. Di tahun pertama ini juga saya sempat ingin masuk jurusan Hubungan Internasional. Tetapi setelah berdiskusi dengan orangtua saya, saya sadar bahwa saya sudah ‘terlanjur’ masuk penjurusan IPA, dan harus bisa memanfaatkan ilmu saya di SMA untuk kehidupan saya di dunia perkuliahan nantinya.
Di kelas sebelas, saya pindah ke Duri. Tidak seperti di sekolah saya yang dulu, di SMA ini saya tidak banyak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan memilih untuk fokus ke bidang akademis dan mengikuti Olimpiade Biologi. Meskipun saya tidak pernah melewati tahap seleksi nasional di OSN, saya beruntung bisa mengikuti NMGBC 2015 di FKUI. Setelah pulang dari NMGBC, niat saya untuk masuk Universitas Indonesia semakin kuat, dan saya pun belajar untuk persiapan SBMPTN lebih awal dari teman-teman saya yang lain untuk membiasakan diri. Namun, pikiran untuk mengambil jurusan lain selain kedokteran tetap ada di otak saya. Di tahun ini, rencana saya jika tidak mengambil kedokteran adalah mengambil jurusan Teknik Biomedis.
Melihat saya yang sudah mulai sibuk mengurusi jurusan di kelas sebelas, orangtua saya mengingatkan agar tidak terlalu fokus ke masalah pemilihan jurusan dan fokus agar bisa mencapai nilai terbaik dulu. “Kalau nilaimu bagus, nanti kamu tinggal memilih saja dan bukannya memilih dari pilihan-pilihan yang terbatas.” Maka saya kembali fokus belajar, sambil benar-benar memikirkan apa yang saya inginkan dalam hidup.
Bagi kebanyakan anak-anak sekolah saya, awal kelas dua belas merupakan masa-masa paling menegangkan. Setiap tahun, perusahaan tempat ayah saya bekerja memberikan beasiswa kepada tiga puluh lima anak yang berhasil lolos seleksi akademis, dan anak yang mendapat peringkat satu mendapatkan beasiswa yang sangat cukup untuk melanjutkan studinya di luar negeri selama empat tahun. Alhamdulillah, saya berhasil mendapat peringkat satu pada saat seleksi. Banyak orang, termasuk diri saya sendiri, mengira bahwa saya akan melanjutkan kuliah di luar negeri seperti kakak kelas saya yang lain. Maka mulailah perjalanan saya yang superkilat – mengejar les SAT dan IELTS agar nilainya mencukupi, menulis puluhan esai untuk mendaftar di berbagai universitas, dan melengkapi transkrip nilai untuk dikirimkan sebagai syarat pendaftaran. Beberapa minggu sebelum UN, saya mendapat surat pemberitahuan dari University of Wisconsin-Madison: Saya diterima di College of Engineering, Biomedical Engineering major.
Pada saat saya diterima di FKUI lewat jalur Talent Scouting (yang pada hari pengumumannya saya mendengarkan lagu Cheer Up dari Twice berulang kali untuk menenangkan diri), saya bingung. Tentu saja saya senang, tetapi pada saat itu saya punya dua pilihan yang sangat bagus di bidang-bidang yang saya minati. Pada saat itu, saya sudah bergabung di grup Facebook Universitas Wisconsin-Madison dan sudah berkenalan dengan beberapa anak – belum lagi ekspektasi dari kakak tingkat saya yang sedang di luar negeri agar saya melanjutkan ‘tradisi’ untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Pada akhirnya, saya memilih untuk tetap mengambil kursi saya di FKUI (kalau tidak, saya juga tidak mungkin menulis esai ini). Banyak orang mengira bahwa saya memilih UI karena belum siap untuk kuliah di luar negeri, atau bahwa saya dipaksa oleh orangtua saya. Mereka tidak tahu bahwa orangtua saya sangat mendukung apapun pilihan yang saya ambil.
Seperti kebanyakan orang, salah satu cara saya menjaga motivasi saya adalah dengan membaca hal-hal yang penuh dengan ajakan untuk tetap bersemangat. Salah satu hal yang membuat saya tetap belajar meskipun berkali-kali gagal – gagal lolos OSN, tidak mendapat peringkat satu selama di sekolah, mendapatkan remedial saat ulangan – adalah sepotong lirik dari lagu Tomorrow oleh BTS: “Because the dawn right before the sun rises is the darkest.”
Mungkin sekarang memang belum akhir dari perjalanan saya. Mungkin sekarang saya masih berada dalam masa-masa ‘gelap’ saya. Tetapi saya yakin bahwa suatu saat, saya akan bisa menuai hal-hal baik dari hasil kerja keras saya. This too, shall pass.
selamat bu dokter
BalasHapusWah keren ceritanya ya! Pasti galau banget ya awalnya? SEMANGAT BERJUANG BARENG DI FKUI!!!
BalasHapuswow kak selamat ya
BalasHapuswow wow wow hebat ya kiri
BalasHapus*riri
BalasHapusI cant believe we both put bts and korean music in our ospek assignments
BalasHapusTulisanmu bagus ri. Aku bangga bisa kenal sama kamu sumpah (?)(???) Tetap work-hard like u always do yeah!
Untuk ke-71 kalinya, selamat ya Riri, kamu anak kedokteran UI
mantap riri!
BalasHapusmantapp rii!!! semangat selalu yaa and jgn pernah back down!
BalasHapusSemangat terus rii
BalasHapusWKWK mba riri ceritanya seru juga. semnagatz
BalasHapusHebat rii 👏 jgn mudah menyerah yaa
BalasHapusHebat rii 👏 jgn mudah menyerah yaa
BalasHapus*tips fedora*
BalasHapus