[Perjalanan Menuju FKUI] Tannia Sembiring


 Saya ingat begitu berita saya diterima di FKUI menyebar, orang-orang menyinggung betapa nikmatnya hidup saja sejak saat itu. Sebagian berasumsi bahwa saya pintarnya selangit. Sebagian lain bertanya-tanya kebaikan apa yang saya lakukan hingga bisa mendapat rezeki sebegitu besar. Kadang saya jawab  seadanya, kadang saya tertawakan saja.
Sedari kecil, saya sudah dibayang-bayangi sosok kakak yang serba mumpuni. Bukan sekadar cantik, kakak saya juga pintar dan rajin. Sejak SMA, kakak saya sudah punya fans club. Ia juga suka membaca dan menulis, memiliki pemikiran terbuka, dan cakap berbicara. Tambahan, beliau adalah seorang dokter spesialis mata. Intinya, kakak saya adalah produk yang terdiri dari gen-gen superior.
Sedangkan saya sedikit-banyak merupakan kebalikan dari kakak saya. Wajah kurang memenuhi standar. Lebih suka main game ketimbang belajar. Kulit saya kusam karena sering main sepeda. Sulit bersosialisasi. Hobinya hanya tidur. Daripada dapat penggemar, saya lebih banyak dapat musuh. Satu-satunya hal yang sama antara saya dan kakak saya hanya nama belakang.
Benar, sejauh itu perbedaan kami dan sebesar itulah tekanan sosial yang saya rasakan selama ini.
Perbedaan lain yang paling mencolok antara saya dan kakak saya adalah saya tidak bercita-cita menjadi dokter. Sungguh, saya ingin menjadi seorang reporter. Saya ingin meliput berita di medan peperangan. Saya ingin masuk TV setiap hari. Saya ingin jadi orang pertama yang tahu berita paling menggemparkan. Ah, saya betul-betul ingin menjadi seorang reporter.
Sampai suatu sore, saya coba mengungkapkan cita-cita saya pada orang tua saya. Hasilnya, saya diceramahi sekian jam mengenai betapa mulianya seorang dokter, betapa hebatnya saya bila saya menjadi seorang dokter, dan betapa bahagianya mereka bila kedua anak mereka menjadi dokter.
Setelah sore itu, saya bertekad untuk memupuk mimpi menjadi reporter dalam-dalam. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk menjadi dokter. Bukan karena saya ingin menyelamatkan banyak jiwa, bukan karena saya tercerahkan bahwa medis adalah bidang saya. Tapi saya yakin, menjadi dokter seperti apa yang orang tua saya inginkan adalah satu-satunya cara untuk membuat mereka bahagia. No matter how cliche that was, it happened.
Ambisi saya itu membuat saya lebih rajin belajar ketika SMP. Saya membatasi diri untuk bermain. Saya lebih banyak merangkum agar bisa masuk SMA favorit di kota saya. Usaha saya berbuah manis, saya lolos penerimaan SMA Negeri 1 Bogor dan semakin dekat dengan apa yang saya cita-citakan, FKUI.
Namun, SMA Negeri 1 Bogor mengubah saya seutuhnya. Prioritas saya bergeser jauh, pemikiran saya terbuka lebar. Saya lebih tertarik mengembangkan sayap di bidang organisasi ketimbang di kancah nilai rapot. Rasa suka saya terhadap oraganisasi tumbuh sebegitu besarnya hingga saya lupa bahwa tujuan utama saya tetap menjadi pelajar, bukan organisator.
Saya terikat perjanjian dengan orang tua saya bahwa sesibuk apapun organisasi saya, saya harus tetap memprioritaskan akademis. Menyeimbangkan keduanya merupakan tantangan terberat yang pernah saya lewati. Saya mulai dengan mempelajari pola belajar saya yang tidak melibatkan guru dan kelas yang hiruk-pikuk. Maka, jam pelajaran saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk tidur. Siang hingga sore saya habiskan untuk mengerjakan tugas dan menyelesaikan permasalahan organisasi. Malamnya saya usahakan belajar hingga pagi. Siklus buruk itu saya pertahankan hingga saya lengser dari jabatan saya hanya demi menjadi seimbang.
Kelas 12 dimulai. Organisasi sudah saya lepaskan seutuhnya. Semua orang mulai memperebutkan bangku kuliah. Saya yang tidak tahu diri dengan sombongnya mencatat nama sebagai pendaftar FKUI di survey pendaftar SNMPTN. Ketidaktahudirian saya itu dibalas dengan posisi saya yang sama sekali tidak aman untuk mendaftar FKUI, posisi ketiga dari kemungkinan dua orang yang diterima.
Saat itu saya kelimpungan. Orang tua saya mulai ketar-ketir meyalahkan kesibukan organisasi saya. Kemudian saya serasa dicambuk, saya berasumsi macam-macam. Mungkin usaha saya memang tidak sebanding dengan orang-orang. Mungkin saya memang tidak pantas menjadi seorang dokter. Mungkin saya tidak ditakdirkan untuk ada di ranah medis. Mungkin ada tempat lain yang tidak pernah saya tahu.
Munculah banyak pilihan di hadapan saya. Mulai dari DKV, psikologi, hukum, komunikasi, teknik mesin, elektro, kedokteran gigi, farmasi, hingga akuntansi. Semua tempat yang saya ulik seketika menjadi destinasi yang menarik untuk saya. Minggu eksplorasi itu merupakan minggu terberat dalam hidup saya. Saya ditekan oleh orang tua saya untuk tetap memberanikan diri dan ditekan oleh logika saya untuk tetap berpikir rasional. Risiko yang saya ambil terlalu besar. Saya tidak pantas untuk berani.
Puncaknya adalah ketika saya kembali dilempar ke posisi keempat dari dua kemungkinan diterima di FKUI. Momennya saat itu merupakan dua minggu sebelum penutupan pendaftaran SNMPTN dan saya masih belum punya rencana B. Setelah mendengar kabar itu, saya paksakan diri untuk les persiapan ujian tulis, kemudian pulang dengan terburu-buru.
Di perjalanan pulang, saya lebih banyak berpikir. Saya sadar saya tidak bisa lari. Saya harus menghadapi risiko dari keputusan saya. Saya yakin passion saya bukan di kedokteran. Saya mau coba masuk tempat lain yang lebih saya sukai. Tapi sudah barang tentu orang tua saya tidak akan setuju.
Kemudian kebencian saya pada orang tua saya muncul. Saya tidak habis pikir mengapa saya dipaksa mewujudkan apa-apa yang mereka impikan tanpa mempertimbangkan keinginan saya. Dan yang terpenting, saya tidak memiliki kuasa untuk melawan.
Sampai di rumah, saya meluapkan emosi saya pada ibu saya. Betapa tertekannya saya selama ini. Betapa saya tidak punya otoritas memilih apa yang ingin saya pilih. Saya luapkan apa yang saya pendam selama ini, tapi ibu saya masih kurang memahami. Beliau tetap memaksa saya memberanikan diri mencoba FKUI dengan risiko harus menghadapi SBMPTN yang bahkan belum saya siapkan secara maksimal. Saya betul-betul meledak saat itu, tanpa kontrol saya meneriaki ibu saya, “Ma, kalau saya tidak diterima SNMPTN, bukan mama yang kesusahan, tapi saya. Bukan mama yang malu, tapi saya.”
Setelah itu, saya membanting pintu kamar dan menangis sejadi-jadinya.
Entah berapa malam setelahnya, ayah saya pulang untuk berdiskusi. Melihat amarah saya yang tidak kunjung reda, ayah saya mulai bicara.
“Tannia, kalau kamu memang tidak ingin jadi dokter, tidak apa-apa, kok. Jadi reporter juga bagus, jadi pengacara juga bagus, jadi dokter gigi juga bagus. Asalkan kamu benar-benar ahli di bidang itu, Papa tidak masalah.”
Ucapan ayah saya malah membuat saya merasa bersalah. Akhirnya, saya putuskan untuk membuat bagan pertimbangan. Setelah berdiskusi dengan orang tua saya, dengan bimbingan konselor, saya memutuskan untuk bunuh diri di SNMPTN agar bisa mengikuti seleksi Talent Scouting untuk FKUI Internasional. Apabila saya masih belum bisa diterima melalui jalur talent scouting, saya diperbolehkan untuk memilih jurusan apapun, fakultas apapun, di universitas manapun untuk SBMPTN. Itu membuat kesempatan saya terbuka lebar untuk masuk satu tempat tertentu yang sudah saya idam-idamkan.
Tidak lama, saya mendapatkan email bahwa saya terpilih mengikuti seleksi tahap lanjut dalam talent scouting. Saya mempersiapkan diri untuk MMPI Test di Salemba dan juga tes wawancara di RIK Depok. Saya persiapkan dengan sungguh-sungguh karena hanya ini satu-satunya kesempatan saya dapat mewujudkan impian orang tua saya untuk mempunyai dua anak dokter. Saya tidak mungkin lolos SNMPTN dengan posisi seperti itu. Saya tidak mungkin lolos SBMPTN atau SIMAK dengan persiapan selemah itu. Karenanya, saya coba latih kecapakan bicara saya agar lancar ketika interview.
Selepas interview, saya melanjutkan persiapan SBMPTN saya dengan sungguh-sungguh. Sekalipun saya keteteran dibanding orang lain, saya usahakan untuk dapat mengejar mereka. Saya deactive seluruh akun media sosial saya. Saya hiraukan teman-teman saya. Saya menutup diri. Saya tamatkan buku-buku latihan soal. Saya hanya beristirahat untuk makan dan sholat.
Tanngal 9 Mei 2016, saya tidak merasa tertekan sedikitpun. Saya yakin saya tidak akan diterima SNMPTN, sudah jelas. Saya datang ke sekolah dengan perasaan biasa-biasa saja dan berencana pulang lebih cepat untuk mengikuti try out di tempat les saya.
Siangnya, semua orang mulai heboh dengan hasilnya masing-masing. Beberapa menangis, beberapa tertawa lepas. Informasi mengenai siapa-diterima-di-mana mulai menyebar.
Teman-teman seperjuangan tulis saya mulai membuka lamannya masing-masing. Mereka semua ditolak. Teman-teman saya memaksa saya untuk membuka saat itu, tapi saya beralasan saya lupa NISN saya—walau sebenarnya, saya hanya tidak mau tahu. Saya sudah tahu saya ditolak. Yakin betul.
Akhirnya, kami masuk ruangan untuk mengikuti try out. Tiba-tiba, staf tempat les saya memanggil saya keluar. Mereka bilang, mereka sudah tahu hasil SNMPTN saya. Saya tertawa kecil dan berkata bahwa saya akan membuka sendiri nanti. Mereka bilang, mereka mau saya melihatnya. Tanpa antusias saya mendekati monitor dan membelalak.
“Selamat anda di terima...”
Saya diterima?
Wah, mungkin sistemnya bermasalah. Lucu juga bermasalahnya.
“Tannia Sembiring, prodi....pendidikan dokter.”
Pendidikan dokter.
Universitas Indonesia.
Saya diterima.
Refleks saya berteriak dan mulai menangis. Teman-teman seperjuangan saya keluar dari ruangan dan mulai menyaluti.
Tapi, jujur saya takut. Sangat takut. Senang, ya, tentu. Tapi tangis saya didominasi takut.
Baik, saya sudah diterima di FKUI. Tapi, mengapa? Apa karena saya rajin? Ah, tidak juga. Kemarin-kemarin saya banyak bolos sekolah. Apa karena saya pernah melakukan hal yang sangat berguna bagi bangsa? Tidak. Malah kemarin saya hampir membuat satu angkot terlindas kereta karena mobil yang saya kendarai mati di tengah rel. Apa karena Allah ingin saya merasakan gagal segagal-gagalnya di FKUI? Mungkin. Apa ini azab karena saya membangkan pada orang tua saya? Lebih mungkin lagi.
Setelah banyak berkontemplasi, saya menyelesaikan try out saya dengan buru-buru, kemudian pulang ke rumah. Saya berlari-lari kecil masuk ke ruang tengah, tempat ibu saya sedang mengaji. Saya refleks bersujud pada ibu saya. Tentu, betapa durhakanya saya beberapa hari yang lalu. Ibu saya bingung. Tapi, setelah saya katakan saya diterima di FKUI, respon ibu saya hanya satu.
“Alhamdulillah...tapi kenapa HP-mu mati, Dik? Mama sama Papa tadi panik kamu tidak ada kabar. Kami takut kamu bunuh diri kalau-kalau tidak diterima...”
Saya tertawa sambil menangis. Terdengar aneh dan memang aneh, tapi begitulah sore yang benar-benar jauh dari ekspektasi saya.
Saya paham usaha memang penting. Tapi, dalam perjalanan memperjuangkan mimpi, bukan melulu berputar pada berapa ribu soal yang kamu kerjakan, atau seberapa tinggi angka-angka di rapotmu. Kadang, hal-hal kecil seperti doa orang tua, keinginan untuk tidak menyakiti perasaan siapa-siapa, dan kejujuran adalah dongkrak utama yang meninggikan harga usaha kita di mata Tuhan.
Belajar dengan keras, lalu belajar dengan cerdas. Pahami sistem-sistem penerimaan universitas tujuan. Hindari sifat individualis. Seimbangkan segala kesibukan.
 Teruntuk yang ingin menjadi dokter, saya harap kalian sudah paham risiko dan benefit dari profesi tersebut. Menjadi dokter bukan soal prestise dan materi. Rencanakan dari sekarang. Jangan terlambat memulai perjuangan.
Namun bila diperkenankan jujur, sejak saat itu sampai sekarang, saya masih belum bisa melepaskan diri dari perasaan takut. Merupakan suatu kehormatan bisa sampai pada capaian ini. Tapi, bayangkan, saya memiliki tanggung jawab mahabesar untuk mewujudkan titipan mimpi ribuan orang. Saya harap ke depannya saya bisa lebih banyak bersyukur dan bisa menjalankan peran saya sebagai mahasiswa FKUI, bagian dari FKUI 2016, dan dokter masa mendatang dengan sebaik-baiknya.
Perihal apakah saya disini karena rezeki, azab, atau hoki, mari kita lihat nanti.

Life is either a daring adventure or nothing at all.”
Hellen Keller, The Open Door.

Komentar

  1. tannnnn seru dibaca nih punya lo, tetap semangat yaaa

    BalasHapus
  2. wes anak undangan, positive thinking Tan, you deserve it!

    BalasHapus
  3. Indy Larasati Wardhana15 Agustus 2016 pukul 23.20

    Gilaa bisa masuk lewat undangan, hebat!

    BalasHapus
  4. Selamat berjuang (kembali dan terus), Tan!πŸ˜‰

    BalasHapus
  5. Semangat tannia!!! W support 100000% πŸ˜‰πŸ˜‰πŸ’•

    BalasHapus
  6. Semangat tannia!!! W support 100000% πŸ˜‰πŸ˜‰πŸ’•

    BalasHapus
  7. Sukses terus di FKUI tann!! ♥♥♥

    BalasHapus
  8. Jangan bilang lo diterima dua-duanya

    BalasHapus

Posting Komentar